Harga Minyak Terus Tertekan, Dibayangi Risiko Ketegangan di Timur Tengah
Harga minyak bergerak fluktuatif mendekati level terendah dalam tujuh bulan terakhir. Aksi jual sedang terjadi di pasar seiring meluasnya ketegangan di Timur Tengah. Para pelaku pasar saat ini mengamati kemungkinan serangan balasan Iran ke Israel.
Minyak berjangka Brent diperdagangkan sekitar US$ 77 per barel pada perdagangan awal pekan ini, Senin (5/8). Pada pekan lalu, harga minyak acuan internasional ini sudah berada di level terendah sejak awal Januari 2024. Lalu, minyak berjangka West Texas Intermediate bertahan di level US$ 74 per barel.
Pasar juga khawatir bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), akan menunda pemangkasan suku bunga acuan tahun depan. Padahal, pada pekan lalu sinyal pemangkasan terbuka tapi kemudian muncul data ekonomi AS yang menunjukkan perlambatan.
Harga minyak menunjukkan tren penurunan selama empat minggu terakhir akibat sinyal permintaan yang melemah di AS dan Cina. Angka permintaan kemungkinan akan cenderung datar pada tahun ini usai negara-negara pengekspor minyak dunia dan sekuturnya alias OPEC+ mengurangi pasokan.
"Meskipun ada kekhawatiran permintaan yang meningkat, risiko geopolitik terus menghantui pasar minyak," kata Warren Patterson, kepala strategi komoditas di ING Groep NV di Singapura, dikutip dari Bloomberg.
Eskalasi di Timur Tengah dapat menyebabkan volatilitas jangka pendek. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kemarin mengatakan serangan Iran dan Hizbullah terhadap Israel dapat dimulai paling cepat pada pada hari ini. Ia tidak tahu waktu yang tepat, namun menurut sumber inteligennya, serangan dapat dimulai dalam 24 hingga 48 jam ke depan.
Di sisi lain, Arab Saudi menaikkan harga minyak mentah andalannya ke Asia untuk pertama kalinya dalam tiga bulan. Aksi ini merupakan tanda Kerajaan tetap yakin dengan permintaan minyak di kawasan tersebut. Sedangkan untuk Eropa dan AS, Arab Saudi melakukan penurunan harga.