Kasus WNA Cina Keruk Emas Ilegal di Ketapang Rugikan Negara Rp 1 Triliun
Tersangka kasus tambang emas ilegal YH (48) warga negara asing atau WNA asal Cina disidangkan di Pengadilan Negeri Ketapang, Kalimantan Barat, pada akhir Agustus lalu. Aksi melawan hukum ini terungkap sejak Mei lalu.
Berdasarkan hasil persidangan, nilai kerugian akibat pertambangan emas ilegal ini mencapai Rp 1,02 triliun. Angkanya berasal dari cadangan emas yang hilang sebanyak 774,27 kilogram dan perak 937,7 kilogram.
Melansir situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hasil penyelidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menunjukkan, volume batuan bijih emas yang tergali mencapai 2.687,4 meter kubik.
“Batuan ini berasal dari koridor antara wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dua perusahaan emas PT BRT dan PT SPM, yang saat ini belum memiliki persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya untuk produksi 2024-2026,” tulis Ditjen Minerba, dikutip Jumat (27/9).
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Sunindyo Suryo Herdadi mengatakan tersangka sebagai penanggung jawab dari semua kegiatan yang ada di lubang tambang dalam (tunnel), bersama-sama beberapa tenaga kerja dan warga lokal, melakukan kegiatan non-inti, seperti pemompaan, housekeeping, dan catering.
Tersangka tidak mempunyai izin usaha jasa pertambangan (IUJP), sebagai syarat untuk bekerja sebagai kontraktor di wilayah IUP. “Dia menggerakkan semua operasi kegiatan,” kata Nindyo dalam konferensi pers pada 11 Mei 2024.
Kronologi Kejadian
Nindyo mengatakan penindakan operasi tambang ilegal bermula dari aduan dan pengawasan usaha penambangan. Ditjen Minerba kemduain menemukan sejumlah bukti kegiatan penambangan bijih emas di lokasi tambang yang saat ini sedang dalam proses pemeliharaan. “Ini kegiatan ilegal dan dilakukan di tambang bawah tanah yang bisa dibilang, melihat dari volumenya tadi, cukup besar,” katanya.
Di lokasi tambang dalam tersebut ditemukan sejumlah alat bukti yang menjadi ciri khas pengolahan dan pemurnian emas. Mulai dari pemecah batu (grinder), induction furnace, pemanas listrik, kuali untuk melebur emas, cetakan bullion grafit, exhaust/kipas hisap, bahan kimia penangkap emas, garam, dan kapur. Ada pula peralatan yang digunakan untuk menambang, antara lain blasting machine, lower dozer, dump truck listrik dan lori.
Modus yang digunakan dalam tambang ilegal ini adalah memanfaatkan tunnel yang masih dalam masa pemeliharaan di WIUP dengan alasan kegiatan pemeliharaan dan perawatan. Padahal, kegiatan lubang tambang tersebut adalah blasting atau pembongkaran menggunakan bahan peledak. Penambang juga mengolah dan memurnikan bijih emas di dalam tunnel.
“Seperti yang tadi disampaikan bahwa peralatan yang beroperasi itu tidak untuk kegiatan produksi, tapi ternyata oleh yang bersangkutan disalahgunakan sehingga terjadilah tindak pidana illegal ini,” ujarnya.
Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel tersebut dibawa ke luar lubang dalam bentuk ore (bijih) atau bullion emas. Menurut uji sampel, hasil kandungan emas di lokasi tersebut memiliki kadar yang tinggi (high grade). Kandungan emasnya 136 gram per ton, sedangkan sampel batu tergiling mempunyai kandungan emas 337 gram per ton.
Dari fakta persidangan juga diketahui adanya pemakaian merkuri atau air raksa (Hg) digunakan untuk memisahkan bijih emas dari logam atau mineral lainnya. Dari sampel hasil olahan, kandungan merkurinya cukup tinggi, sebesar 41,35 miligram per kilogram.
Sesuai Pasal 158 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, pelaku terancam hukuman kurungan selama lima tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar. Kejaksaan Negeri Ketapang masih terus mengembangkan perkara pidana untuk kasus ini.