PHK Massal Sritex Dinilai Ilegal, KSPI Soroti Prosedur yang Tidak Sah

Andi M. Arief
4 Maret 2025, 14:44
Sritex
ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/Spt.
Buruh berjalan keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Pabrik tekstil Sritex yang dinyatakan pailit dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang akan menghentikan seluruh operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.665 karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) sebagai tindakan ilegal.

KSPI menilai proses PHK tersebut tidak mengikuti mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2024 tentang Cipta Kerja.

Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan bahwa PHK harus melalui mekanisme yang sah, seperti kesepakatan bipartit, tripartit, atau keputusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Ia menyoroti bahwa hasil dari mekanisme bipartit dan tripartit harus dituangkan dalam notulen kesepakatan yang memuat pendapat buruh, perusahaan, dan pemerintah.

"Dengan demikian, dalam dua pekan ke depan, karyawan Sritex yang di-PHK masih berstatus karyawan dan berhak menerima gaji serta tunjangan hari raya," ujar Said dalam konferensi pers virtual pada Selasa (4/3).

Said menyatakan bahwa kasus pailit yang dialami Sritex tidak seharusnya berujung pada PHK sepihak. Ia menegaskan bahwa kontrak kerja buruh adalah dengan manajemen Sritex, bukan dengan perusahaan sebagai entitas bisnis.

Janji Pemerintah dan Mekanisme yang Dipilih

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menjamin bahwa pabrik Sritex akan kembali beroperasi pada 17 Maret 2025. Dengan demikian, KSPI menilai bahwa mekanisme yang dipilih dalam kasus ini seharusnya adalah tripartit.

Namun, Said menekankan bahwa mekanisme tripartit hanya dapat dilakukan apabila upaya bipartit menemui jalan buntu. Bukti bahwa mekanisme bipartit telah dilakukan adalah adanya notulen kesepahaman antara buruh dan perusahaan.

Akibat PHK yang dianggap ilegal ini, ribuan buruh Sritex tidak dapat mencairkan haknya di BPJS Ketenagakerjaan, seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

"Sepanjang yang kami tahu, tenaga kerja Sritex saat ini tidak memiliki Surat Keterangan PHK. Jika BPJS Ketenagakerjaan tetap mencairkan JHT dan JKP tanpa dokumen yang sah, kami akan menuntut BPJS Ketenagakerjaan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Said.

Sebanyak 10.665 karyawan Sritex bekerja untuk terakhir kalinya pada Jumat (28/2), seiring dengan penutupan pabrik yang efektif mulai 1 Maret 2025.

Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno menjelaskan bahwa pesangon menjadi tanggung jawab kurator, sedangkan jaminan hari tua menjadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan.

Pemerintah Berupaya Menjamin Hak Buruh

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan mengakui bahwa upaya pemerintah untuk menyelamatkan Sritex berujung buntu hingga akhirnya perusahaan harus tutup per 1 Maret 2025, menyebabkan 10.665 karyawan kehilangan pekerjaan.

Dia menyatakan bahwa keputusan PHK ini merupakan kebijakan yang diambil oleh kurator dalam kasus pailit Sritex yang diputus pada tahun lalu. Pemerintah akan memastikan bahwa para buruh tetap mendapatkan hak-haknya sesuai hukum yang berlaku.

"Kita negara hukum, maka harus tunduk pada hukum. Kemenaker di garis terdepan membela hak buruh dan pemerintah menjamin buruh akan memperoleh haknya," kata Immanuel dalam keterangan resmi, Jumat (28/2).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...