DBS: Industri Indonesia Mulai Tinggalkan Batu Bara, Lirik Energi Bersih
Bank DBS Indonesia mengatakan industri yang ada di Indonesia saat ini mulai berpikir menuju transisi energi. Hal ini terlihat dengan kecenderungan perusahaan ingin mengganti sumber energi mereka yang awalnya batu bara menjadi sumber yang lebih bersih.
“Kami perhatikan mereka melihat adanya alternatif (pengganti batu bara), hal yang paling banyak didengungkan adalah (menjadikan) gas (sebagai sumber energi),” kata Head of Large Corporate Institutional Banking Group, PT Bank DBS Indonesia Anthonius Sehonamin dalam acara media briefing di Four Season Hotel, Rabu (26/11).
Anthonious mengatakan pemerintah telah meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-203 pada Mei 2025. Berdasarkan paparan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), RUPTL terbaru menargetkan penambahan pembangkit listrik naik menjadi 69,5 gigawatt (GW) hingga 2034.
Dari jumlah tersebut, 76% kapasitas pembangkit berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan storage. Komposisi dalam RUPTL terbagi menjadi 42,6 GW untuk pembangkit EBT (61%) dan 10,3 GW untuk storage (15%), serta pembangkit fosil 16,6 GW (24%).
Meski begitu dia menyebut industri saat ini tidak bisa langsung menghilangkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Hal ini berkaitan dengan adanya rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang sudah ditetapkan pemerintah untuk periode 2025-2034.
Dalam RUPTL terbaru, jumlah PLTU batu bara yang akan dibangun hingga 2034 memiliki jumlah kapasitas 6,3 GW.
“Yang terpenting sebetulnya adalah kebutuhan akan sumber energi yang konsisten. Sementara itu sumber energi terbarukan (energi bersih) masih bisa naik turun, tidak seperti batu bara (yang konsisten) dengan harga yang lumayan (terjangkau),” ujarnya.
Batu Bara Masih Ada dalam RUPTL
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan alasan masih ada rencana pembangunan PLTU berkaitan dengan pergeseran konsensus global terkait net zero emission saat ini. Dia menyebut salah satu negara yang menginisiasi Paris Agreement yakni Amerika Serikat (AS) justru keluar dari kesepakatan tersebut.
"Kami kan awalnya mengikuti mereka, sekarang mereka tidak mau menjalankan itu dengan baik. Boleh dong saya sebagai menteri ESDM bertanya ada apa dibalik ini?” kata Bahlil dalam konferensi pers, Senin (26/5).
Selain hengkangnya AS dari Paris Agreement, Bahlil menyampaikan masuknya PLTU dalam RUPTL berkaitan dengan masih adanya kontrak jual beli batu bara antara Indonesia dengan negara Eropa.
Dia menyebut, sebagian negara yang menggemborkan energi baru terbarukan (EBT) justru masih meminta kontrak pembelian batu bara dari Indonesia. “Kalau memang dia masih pakai batu bara, kenapa memaksa kita untuk tidak lagi memakainya,” ujar Bahlil.
Tidak hanya itu, Bahlil menyampaikan PLTU masih dibangun hingga 2034 juga berkaitan dengan keberadaannya sebagai sumber energi intermiten. Batu bara digunakan sebagai sumber energi ketika malam hari, saat kinerja EBT tidak maksimal.
“Batu bara itu untuk memancing, makanya terjadi penggabungan dengan baterai sebagai sumber energi. Jadi ini dipakai untuk pancingan dan tidak terlalu banyak,” ucapnya.
