Dampak Penundaan Kenaikan Tarif Impor Tiongkok Hanya Sementara
Keputusan Amerika Serikat (AS) menunda kenaikan tarif impor sejumlah produk asal Tiongkok dinilai hanya berdampak positif dalam jangka pendek untuk Indonesia. Pelaku usaha dan pengamat menilai, perang dagang AS-Tiongkok harus benar-benar berakhir supaya dampak negatifnya terhadap Indonesia tidak berlangsung lebih lama.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Perdagagan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, penundaan tarif yang dilakukan AS dan Tiongkok tidak memberikan perubahan signifikan terhadap ekonomi Indonesia. "Pada prinsipnya, belum ada titik terang terhadap penyelesaian perang dagang itu sendiri," kata Shinta kepada Katadata.co.id, Selasa (26/2).
Dia menjelaskan, tidak ada yang tahu persis kesepakatan antara AS dan Tiongkok, pengaturan dagang antara kedua negara, dan komoditas-komoditas yang terdampak. Penundaan penyelesaian perang dagang malah dinilai berdampak negatif terhadap pelemahan ekonomi global karena ketidakpastian berlangsung lebih lama.
Dalam jangka pendek, penundaan pengenaan tarif tambahan AS untuk Tiongkok dalam perang dagang akan menstabilkan ekonomi makro negara berkembang yang tergantung pada komoditas seperti Indonesia. Alhasil, pelaku usaha nasional harus tetap kuat menghadapi tekanan global sampai perang dagang berakhir agar tidak terkena krisis.
Shinta menegaskan, para pengusaha harus pandai-pandai memanfaatkan peluang dari perang dagang AS dan Tiongkok meskipun minim. "Penundaan tidak memberikan potensi pasar baru untuk pelaku usaha," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan penundaan perang dagang masih berdampak positif untuk ekspor komoditas Indonesia. Sebab, kedua negara merupakan pasar ekspor nonmigas yang kontribusinya mencapai 25% dari total ekspor nonmigas Indonesia.
Dia menjelaskan, sinyal positif bakal lebih besar lagi kalau ada penyelesaian perang dagang antara AS dan Tiongkok. "Kalau tensi perang dagang mereda, ada kelegaan yang berimplikasi pada kenaikan harga komoditas dan volume ekspor Indonesia, peluang ini harus dimanfaatkan pelaku usaha," kata Bhima.
Kinerja ekspor kemungkinan akan tumbuh sekitar 6%-7% karena pemulihan ekonomi global membutuhkan waktu. Bhima memperkirakan, perubahan paling lama terjadi dalam waktu 3-6 bulan karena adanya kontrak secara business to business dalam perdagangan.
(Baca: Trump: Kesepakatan Dagang Akan Segera Ditandatangani dengan Xi Jinping)
Kesepakatan Damai
Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan, kesepakatan untuk mengakhiri perang tarif dengan Tiongkok mungkin segera bisa ditandatangani dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping jika kedua negara dapat menjembatani perbedaan yang tersisa.
Sebagaimana dilansir Reuters, Trump mengatakan, perundingan dagang AS-Tiongkok semakin dekat untuk mencapai kesepakatan tersebut. Trump juga memutuskan untuk menunda kenaikan tarif terhadap produk-produk impor asal Tiongkok senilai US$ 200 miliar yang semula dijadwalkan berlaku pada 1 Maret 2019.
Keputusan tersebut membuat pasar keuangan global menguat pada perdagangan Senin (25/2). Optimisme pelaku pasar membuncah melihat peluang berakhirnya perang dagang antara AS-Tiongkok semakin dekat. Ini kabar baik bagi perekonomian global yang selama ini terombang-ambing dalam ketidakpastian akibat aksi kedua raksasa ekonomi tersebut.
AS menuntut Tiongkok agar mengubah cara mereka dalam berbisnis dengan negeri Paman Sam itu, memberikan akses yang lebih luas kepada perusahaan-perusahaan AS, menegakkan perlindungan kekayaan intelektual, dan menyetop pemberian subsidi kepada industri.
"Kami akan mengadakan pertemuan lagi untuk penandatanganan (kesepakatan dagang). Jadi, semoga kita bisa menyelesaikannya. Kita sudah sangat, sangat dekat," kata Trump, Senin (25/2). Pertemuan tersebut akan dilaksanakan di properti pribadi Trump di Mar-a-Lago, Florida, AS.
(Baca: Kicauan Trump Buat Rupiah dan Mata Uang Asia Bertenaga di Awal Pekan)