Perkuat Sektor Hulu, Krakatau Steel Operasikan Pabrik Blast Furnace
PT Krakatau Steel (Persero ) Tbk siap mengoperasikan pabrik blast furnace di Cilegon, Banten. Dengan beroperasinya pabrik tersebut maka akan meningkatkan kapasitas produksi baja perseroan di sektor hulu.
“Ini merupakan suatu awal dari rangkaian usaha Perseroan untuk meningkatkan daya saing di sektor hulu, dimana fasilitas blast furnace merupakan teknologi berbasis batu bara," kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata.co.id, Kamis (20/12).
Penggunaan batu bara, menurut Silmy, akan meningkatkan fleksibilitas penggunaan energi serta mengurangi ketergantungan terhadap gas alam yang terus mengalami kenaikan harga dan keterbatasan jumlah.
(Baca: Krakatau Steel Berencana Akuisisi Pabrik Baja yang Bangkrut)
Pabrik Blast Furnace yang berdiri pada area Blast Furnace Complex PTKS seluas 55 hektare ini merupakan proyek konsorsium yang dikerjakan oleh kontraktor asal Tiongkok, MCC CERI dan PT Krakatau Engineering (PTKE).
Dalam komplek blast furnace juga terdapat sinter plant berkapasitas 1,7 juta ton per tahun, hot metal treatment plant dengan kapasitas 1,2 juta ton per tahun, coke oven plant berkapasitas 555 ribu ton per tahun. Sebagai penunjang, terdapat pula raw material handling (stockyard) yang mampu menampung 400 ribu ton bahan baku baja per tahun.
Silmy juga mengatakan, setelah beroperasi, pabrik blast furnace mampu menghasilkan 1,2 juta ton hot metal per tahun. Penggunaan hot metal akan mengurangi biaya produksi di steel making, utamanya dengan menurunkan konsumsi listrik di proses steel making (EAF) karena bahan baku hot metal dimasukkan dalam bentuk cair pada temperatur tinggi (± 1.200oC). "Selain itu adanya hot metal dalam proses peleburan dapat menurunkan konsumsi elektroda," ujarnya.
Pembangunan blast furnace juga akan membuat keseimbangan kapasitas hulu (iron & steel making) dengan hilir (rolling mill) sehingga mengurangi ketergantungan pada slab impor.
Sementara dalam hal melakukan ekspansi kapasitas di hilir, Krakatau Steel juga sedang membangun pabrik hot strip mill 2 yang akan beroperasi pada 2019 mendatang. Dengan adanya pabrik ini akan didapatkan tambahan kapasitas sebesar 1,5 juta ton baja lembaran panas atau HRC.
(Baca: Regulasi yang Membuat Industri Baja Tidak Bertambah Sehat)
Sementara Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Straegis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, Fajar Harry Sampurno berharap industri dalam negeri mampu mengisi kebutuhan baja dalam negeri yang mencapai 15 juta ton.
"Namun masih ada PR besar lagi setelah ini bagi Krakatau Steel yakni untuk membangun kluster 10 juta ton baja di Cilegon," ujarnya.
Industri baja nasional saat ini masih memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor. Direktur Hubungan Internasional Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Purwono Widodo sebelumnya mengatakan industri baja sendiri saat ini harus mengimpor kebutuhan bahan baku sebanyak 5,4 juta ton per tahun. Terhambatnya pertumbuhan industri disebabkan karena kapasitas industri saat ini masih kurang mencukupi kebutuhan domestik.
"Kapasitas masih kurang untuk memenuhi kebutuhan domestik, baru sekitar 60% lah. Total demand hampir 13 juta ton," kata Purwono.
Dia juga menutirkan jumlah impor yang dilakukan industri baja saat ini sudah tidak ideal. Seharusnya, industri baja di Indonesia hanya mengimpor bahan baku sebesar 10%.
"Kalau lebih dari itu tidak balance, artinya dikuasai impor. Minimal 10% sudah normal. Seperti sekarang itu sebenarnya tidak mandiri," kata Purwono.
Dengan adanya hambatan tersebut, Purwono memproyeksikan pertumbuhan industri logam dasar pada 2018 hanya berkisar di angka 8%. "Aturannya itu dari pertumbuhan ekonomi ditambah sekitar 3%," kata Purwono.