Neraca Dagang Juli Diprediksi Kembali Defisit
Kementerian Perdagangan memproyeksikan neraca dagang pada Juli 2018 kembali defisit. Prediksi itu berdasarkan tren penurunan perdagangan yang kerap terjadi setelah 6 bulan pertama, dalam 2 tahun terakhir.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan prediksi tersebut berdasarkan pengamatan saat ini. “Berdasarkan itu, bulan Juli sepertinya akan kembali defisit,” kata Oke di Jakarta, Selasa (7/8).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Juli 2017 tercatat defisit US$ 280 juta setelah bulan sebelumnya surplus US$ 1,67 miliar. Sedangkan, pada 2016, surplus pada Juli menurun jadi US$ 630 juta dari surplus Juni 2016 yang sebesar US$ 1,11 miliar.
(Baca : 3 Tahun Surplus, Neraca Dagang Semester I 2018 Defisit US$ 1 Miliar)
Oke menuturkan Kementerian Perdagangan telah menyiapkan 4 strategi penguatan ke depan. Pertama, dengan penguatan infrastruktur perdagangan. Kedua, peningkatan ekspor berkelanjutan dengan memicu ekspor bernilai tambah tinggi dengan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi.
Ketiga, pengembangan fasilitas perdagangan. Terakhir, peningkatan akses pasar melalui perundingan perjanjian perdagangan internasional. “Kami mendorong pemanfaatan perjanjian dagang untuk eksportir di daerah,” ujar Oke.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pun mengungkapkan hal senada. Neraca perdagangan pada Juli 2018 diperkirakan kembali defisit karena kegiatan produksi sektor industri pascalibur Lebaran akan kembali normal sehingga impor bahan baku penolong dan bahan modal kemungkinan kembali meningkat.
“Kami prediksi defisit bisa sampai US$ 1 miliar,” katanya.
(Baca : Libur Lebaran, Neraca Dagang Juni 2018 Diprediksi Surplus US$ 600 Juta)
Proyek infrastruktur pemerintah yang masih belum jelas keberlanjutannya juga diprediksi akan menyerap impor bahan baku. Hal itu setidaknya tercermin dari impor besi dan baja untuk pembatas jalan yang meningkat hingga 598% pada Januari hingga Mei 2018.
Selain itu, harga minyak mentah yang masih tinggi juga akan membuat defisit pada sektor minyak dan gas (migas) semakin melebar. Belum lagi, keseluruhan impor masih dipengaruhi oleh pelemahan rupiah.
Indef juga menyorot ekspor Indonesia ke perdagangan global juga masih lemah karena tren perang dagang.
“Komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) juga masih terdampak dari kebijakan tarif, seperti India dan Uni-Eropa,” kata Bhima.
(Baca : Lebih Optimistis, BI Ramal Neraca Dagang Juni Surplus US$ 1 Miliar)