Masih Dibayangi Pelemahan, Industri Retail Dipatok Tumbuh 6%
Pelaku usaha di industri retail menggantung asa di 2018. Sejumlah event tahunan diharapkan mampu mendorong konsumsi tahun ini sehingga bisa berdampak terhadap pertumbuhan industri retail yang hanya dipatok tumbuh konservatif sebesar 6%.
Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) mengatakan kinerja industri retail hingga kuartal I 2018 belum telalu menggembirakan, yang mana pada periode tersebut industri retail hanya mampu tumbuh sebesar 1% - 1,5%.
Meski demikian, masuki kuartal II (April - Juni) pengusaha retail mulai optimistis ada peningkatan penjualan seiring dengan adanya bulan puasa dan Lebaran, dimana masyarakat biasanya mulai aktif membeli kebutuhan rumah tangga. Kedua momentum tersebut menjadi tumpuan industri retail karena sekitar 45% pendapatan industri ini terkonsentrasi di momen tersebut.
Memasuki kuartal III, peritel menaruh harap adanya pertumbuhan konsumsi dan penjualan melalui gelaran event olahraga Asian Games dan HUT Indonesia. Sementara pada kuartal IV, peritel biasanya akan memaksimalkan penjualan di akhir tahun melalui sejumlah program belanja untuk mendorong daya beli masyrakat.
“Pertumbuhan retail 3 tahun terakhir menurun, karenanya butuh sebuah momentum untuk mendorong daya beli masyarakat,” kata Ketua Bidang Komunikasi Aprindo Fernando Repi di Jakarta, kemarin (23/5).
Dengan sejumlah katalis tersebut, Aprindo pun memperkirakan penjualan tahun ini dapat tumbuh sebesar 6%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun lalu yang hanya bisa mencapai 3%.
(Baca : Manuver Retail Modern di Tengah Perubahan Gaya Hidup)
Untuk mencapai target tersebut, menurut Fernando, peritel mesti cepat berbenah, agar mampu mengakselerasi pertumbuhan. Salah satu caranya melalui pemanfaatan inovasi teknologi yang efisien dan efektif serta mendorong konsep bisnis retail ke arah pengalaman pengguna dan gaya hidup.
Contohnya dalam kegiatan operasional toko, dia menuturkan penataan barang harus sesuai ketersediaan lahan sehingga tidak memerlukan gudang yang besar. Selain itu, ekslusivitas dan pendekatan toko secara lebih personal dinilai lebih membuat masyarakat nyaman untuk berbelanja.
Pengusaha retail juga mesti aktif melakukan program promosi untuk meningkatkan eufuforia belanja. “Butuh pemanfaatan segala pihak termasuk produsen untuk mendorong transaksi retail,” ujarnya.
Sementara itu, menanggapi soal startegi industri retail, Managing Director Handaka Santosa. Menurutnya, konsumen saat ini tidak hanya memerlukan potongan harga, tetapi juga terus mencari hal baru. Karena inovasi tiap gerai akhirnya diperlukan.
Seperti dengan mengkombinasikan gaya hidup dalam bentuk toko buku, kedai kopi, dan restoran di antara gerai retail pakaian yang juga disertai dengan penawaran produk-produk agar konsumen kembali datang.
Dengan startegi itu, dia yakin retail memiliki potensi yang bagus jika bisa beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Terbukti dengan inovasi tersebut penjualan Sogo Indonesia bisa tumbuh 15% pada tahun lalu.
Sedangkan Executive Director Nielsen Indonesia Yongky Susilo juga menuturkan kenaikan penjualan pada kuartal kedua 2018 diharapkan terus berlanjut ke kuartal selanjutnya , dengan catatan ada dukungan kebijakan pemerintah yang mampu menggenjot konsumsi masyarakat kelas bawah dan menjaga daya beli masyarakat kelas atas.
Yongky meminta peretail aktif mempromosikan hal-hal yang menyenangkan dan berkaitan dengan tren nasional. “Belanja harus aktivitas rekreasional,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa persaingan dengan portal belanja online tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, pergeseran konsumsi masyarakat ke belanja online saat ini tidak lebih 3%. Meski demikian, pengusaha retail dapat mencontoh e-commerce dalam melakukan inovasi teknologi.
Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, I Gusti Ketut Astawa menyatakan peretail terus menjaga keberlangsungan usaha tanpa merugikan masyarakat. “Inovasi retail yang baik adalah kekuatan untuk bertahan,” kata Ketut.
(Baca Juga : Daya Beli Melemah, Rata-rata Penjualan Gerai Matahari Turun 1,2%)
Sememtara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat untuk mendorong daya beli dan konsumsi masyarakat, pemerintah dinilai perlu memyelesaikan sejumlah masalah ekonomi, seperti terkait pelemahan rupiah, defisit neraca dagang serta kenaikan harga komoditas dunia.
Pasalnya, ketika ada gejolak, masyarakat kelas menengah ke bawah akan langsung merespon dengan mengerem pengeluaran. Kelas menengah ke atas pun memilih untuk menabung uang untuk berjaga-jaga.
Menurut catatannya, konsumsi rumah tangga triwulan satu 2018 hanya tumbuh 4,95%, angkanya sama dengan tahun 2017 dan lebih rendah dari 2016 yang sebesar 5,01%. i
Sementra untuk 2018, Eko yakin momentum Lebaran mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah butuh untuk menjaga konsumsi masyarakat tetap tinggi. “Pemerintah perlu memberikan penyegaran kepercayaan kepada dunia usaha supaya ekonomi terus meningkat,” ujarnya.