Manuver Retail Modern di Tengah Perubahan Gaya Hidup
Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) menyatakan kinerja industri tahun 2017 merosot tajam dengan pertumbuhan industri hanya mencapai 3,6%. Rendahnya capaian ini membuat para pengusaha bermanuver untuk meningkatkan penjualan tahun ini.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menyatakan pertumbuhan sektor retail modern pada 2017 merupakan yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Dia menuturkan, industri retail sempat mencatat pertumbuhan tertinggi di atas 12% pada 2012-2014. Lalu pada 2016 trend pertumbuhan industri perlahan turun dengan realisasi pertumbuhan sekitar 8% dan semakin tertekan di 2017 dengan angka pertumbuhan 3,5%.
(Baca : Pengusaha Retail Targetkan Raih 45% Omzet Saat Lebaran)
Roy menuturkan salah satu alasan menurunnya trend pertumbuhan industri tahun lalu lebih disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang memilih kuliner dan jalan-jalan dibandingkan berbelanja, dan bukan dikarenakan penurunan daya beli masyarakat.
Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017 masih mencapai 5,07%. Angka itu masih meningkat meski sangat tipis dibanding 2016 sebesar 5,03%. Alhasil, omzet industri retail pada 2017 hanya mencapai Rp 212 triliun dari periode 2016 sebesar Rp 205 triliun.
Sementara itu, disrupsi perdagangan online (electronic commerce/e-commerce) juga tak bisa serta merta disalahkan. “Penjualan online masih tidak terlalu menggerus karena jumlah barang masih kecil, tapi memang memicu berubahnya perilaku konsumen,” ujar Roy.
Menurutnya, perubahan perilaku konsumen yang ingin lebih dimanjakan dalam hal berbelanja. Sehingga pertimbangannyaiap berbelanja tidak hanya terfokus pada harga jual produk yang murah tetapi juga sistem belanja yang mudah dan praktis.
Merespon perubahan perilaku tersebut, sejumlah anggota Aprindo pun kemudian berinisiatif untuk berinovasi dengan mulai mengembangkan konsep kuliner, hiburan, dan gaya hidup atau one stop shopping dalam beberapa pembukaan gerai. Selain itu, retail juga harus mengikuti perkembangan zaman yakni dengan mulai membuka pemasaran lewat jalur online. “Harus membuka e-commerce dan juga sistem distribusi pengiriman langsung ke masyarakat,” ujarnya.
Pada 2017, Roy menjelaskan minimarket masih bisa sedikit berkembang, dibandingkan dengan jenis retail supermarket dan grosir yang cenderung mengalami penurunan.
Meski demikian, dia juga menyatakan bahwa ekspansi gerai retail di daerah juga kerap terhambat karena lambatnya perkembangan Revisi Peraturan Presiden 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Yang mana salah satu poin yang menjadi perhatian Aprindo adalah soal ketidakharusan penggunaan Rencana Desain Tata Ruang dalam ekspansi.
Dalam revisi rancangan baru itu disebutkan bahwa ekspansi sudah bisa menggunakan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRA) atau zonasi. Namun, otonomi daerah tidak mengurus retail secara serius. “Masih belum ada aturannya jadi daerah belum memberlakukannya,” kata Roy.
Salah satu cara untuk melakukan ekspansi tanpa terganjal masalah peraturan adalah dengan mengembangkan jaringan distribusi dengan sistem kemitraan dengan warung rakyat dan pondok pesantren.
Terlebih, skema tersebut juga didukung oleh Kementerian Perdagangan lewat Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang percepatan berusaha. “Kami usaha dulu, izin bisa menyusul,” tuturnya.
Dengan inovasi dan adaptasi yang dilakukan, Aprindo menargetkan penjualan tahun ini bisa mencapai 7% . Adapun mayoritas uang beredar, kemungkinan lebih banyak terserap di pasar tradisional dengan sebaran sebanyak 3,2 juta unit di sejumlah lokasi, ketimbang berbelaja di retail modern hanya 35 ribu gerai. “Kebutuhan pokok pasti lebih banyak besar diserap pasar tradisional,” ujarnya.
(Baca juga : Holding Retail Lippo Group Merugi Rp 1,24 Triliun)
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga mengatakan bahwa sistem kemitraan bisa memberikan lebih banyak kemitraan terhadap bisnis retail modern, salah satunya terkait adalah perluasan pasar. Karenanya, dia meminta agar retail modern ke depannya bisa memperbesar sistem kemitraan.
Enggar juga meminta agar harga yang dijual di minimarket sama dengan harga penjualan di warung atau pondok pesantren. “Jangan ada langkah yang tidak menjamin keberlangsungan dan membuat usaha kecil dan menengah rugi, harus sama-sama menguntungkan,” katanya.