Mencari Peruntungan Kedua Dana Tiongkok di Jalur Sutera
Pertemuan Luhut Binsar Pandjaitan dan beberapa pejabat sebuah perusahaan Tiongkok di Beijing pada Sabtu malam kemarin seolah bonus sampingan dalam kunjungan resminya ke Negeri Panda tersebut. Kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini, perwakilan perusahaan Tiongkok tadi menyampaikan minatnya untuk menanamkan modal di Indonesia.
Mereka hendak masuk ke sektor manufaktur dengan membangun pabrik baja, karbon, dan pengembangan industri baterai lithium untuk mobil listrik. Lokasinya kemungkinan di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Halmahera Utara, Maluku Utara. Taksiran investasinya US$ 10 miliar, sekitar Rp 163,2 trilun, angka yang memungkinkan untuk memperoleh insentif pajak karena di atas US$ 2,5 miliar. (Baca: Luhut Tawarkan Kawasan Industri Kuala Tanjung ke Tiongkok dan AS).
Bila terealisasi, tentu ini berkah sendiri. Sebab, lawatan Luhut, yang didampingi beberapa pejabat seperti Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong, ini sejatinya dalam rangkaian pertemuan Belt and Road Initiative. Kerangka kerja sama internasional yang dimotori Tiongkok tersebut dikenal juga dengan One Belt One Road (OBOR).
Dalam kesempatan itu, Luhut menawarkan beberapa proyek infrastruktur di Indonesia. Di Sumatera Utara, dia mengajak investor Cina untuk membangunan Kuala Tanjung Internasional Hub Port and Industrial Estate. Demikian juga dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke. Proyek lainnya yaitu Kuala Namu International Airport and Aerocity dan Danau Toba MICE dan Pariwisata.
Sementara untuk wilayah Kalimantan Utara, proyek yang ditawarkan yakni pengembangan kawasan industri klaster smelter alumina dan alumunium dan klaster energi. Ada pula kawasan industri dan pelabuhan internasional Tanah Kuning. Masih di sektor energi, akan dikembangkan juga Pembangkit Listrik Tenaga Air Bulungan.
Wilayah investasi terakhir yang dijajakan ke Negeri Tembok Raksasa yaitu di kawasan Sulawesi Utara. Proyeknya seperti pembangunan Pelabuhan Internasional Bitung dan Kawasan Industri Bitung, dan Manado. Selain itu Lembe MICE dan sektor pariwisata di sana.
Rencananya, proyek-proyek tersebut akan melalui skema pembiayaan alternatif, di antaranya pendanaan campuran (blended finance) dan kerja sama antara pemerintah dan swasta (public private partnership). “Skema itu sekarang berkembang. Seperti LRT yang di Jakarta tinggal dibiayai pemerintah 25 persen dari APBN. Sisanya kami peroleh dari market,” kata Luhut.
Hadirnya luhut dalam Belt and Road Initiative ini merupakan kali kedua. Pertengah Mei tahun lalu, Luhut juga datang ke Cina untuk agenda yang sama. Ketika itu, Indonesia menawarkan sejumlah proyek infrastruktur senilai US$ 201,6 miliar atau sekitar Rp 2.700 triliun. Proposal proyek tersebar di tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara.
Bila dirinci, investasi untuk proyek di Sumatera Utara US$ 86,2 miliar senilai Rp 1.148,2 triliun. Modal pembangunan di Kalimantan Utara akan menelan US$ 45,98 miliar senilai Rp 612,4 triliun. Adapun investasi di kawasan Sulawesi Utara diperkirakan US$ 69,45 miliar senilai Rp 925,1 triliun. (Lihat juga: 96 Perusahaan Tiongkok Bidik Peluang Investasi Energi di Indonesia).
Kala itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebutkan tiga investor potensial didorong menyuntikan modalnya. Mereka adalah China Development Bank (CDB), China Communication Construction Company (CCCC) dan CITIC. Rupanya, nama-nama proyek yang ditawarkan tahun lalu itulah yang kembali disodorkan Luhut dalam pertemuan akhir pekan kemarin.
Dibidiknya Tiongkok sebagai sumber investasi penting bagi Indonesia cukup beralasan. Cina telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia bersama Amerika Serikat. Menurut Thomas Lembong, tren investasi Tiongkok di Indonesia memperlihatkan pergerakan yang signifikan dengan pertumbuha paling tinggi beberapa tahun belakangan. “Sangat wajar kalau dia akan menjadi investor nomor satu di Indonesia,” kata Tom waktu itu.
Dana yang ditawarkan Cina dalam proyek Jalur Sutera ini memang besar, ditaksir hingga US$ 500 miliar. Belt and Road Initiative pertama kali diluncurkan pada 2013 oleh Presiden Xi Jinping, bertujuan untuk meningkatkan jaringan luas hubungan darat dan laut dengan Asia Tenggara, Asia Tengah, Timur Tengah, Eropa dan Afrika.
Namun, upaya membangkitkan kembali jalur perdagangan terpanjang di dunia yang membentang di dua benua, menghubungkan Tiongkok dan dunia Barat, ini menuai kecurigaan oleh sebagian negara-negara Barat. Mereka menuding program tersebut sebagai upaya Cina menguatkan dominasinya di setiap jalur tersebut.
Pekan lalu Xi Jinping menampik anggapan tersebut. “Ini bukan Rencana Marshall setelah Perang Dunia Kedua, juga bukan konspirasi Cina. Jika Anda harus menyebutkan sesuatu, itu adalah 'petak terbuka',” kata Xi Jinping sebagaimana dikutip Reuters. Menurut dia, proyek-proyek di sepanjang rute Jalur Sutera akan terbuka, termasuk dari negara-negara pihak ketiga.
Keterbukaan inilah yang diharapkan Indonesia. Sebagai wilayah yang dilalui Jalur Sutera rute selatan (perairan), beberapa proyek yang ditawarkan Indonesia diharapkan menarik bagi Tiongkok. (Baca juga: Kunjungi Tiongkok, Luhut Akan Tawarkan Pendanaan Proyek OBOR).
Namun, setelah setahun lebih, hingga kini belum terlihat wujudnya. Bisa jadi pertemuan Luhut dengan Perdana Menteri Li Keqiang, Menteri Luar Negeri Wang Yi, dan jajajaran pejabat Menteri Perdagangan Cina pada pekan lalu membuka kembali peruntungan Indonesia menggaet dana jumbo dari program Jalur Sutera.