Pasokan Berlebih. Kemendag Waspadai Kebocoran Impor Gula Rafinasi
Kebutuhan industri terhadap penggunaan gula kristal rafinasi (GKR) diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan alokasi impor gula. Kelebihan pasokan gula dikhawatirkan berpotensi menyebabkan terjadinya resiko kebocoran atau berpindah tangannya pasokan gula impor ke pihak lain.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menuturkan, indikasi kelebihan itu ditemukan lewat pendataan kontrak dalam sistem lelang. “Indikasi dilihat dari permohonan persetujuan impor, yang salah satunya berdasarkan kontrak dan kapasitas produksi antara penjual dan pembeli,” kata Kepala Bappebti Bachrul Chairi lewat keterangan resmi, pekan lalu.
Menurut Bachrul, saat ini terdapat kontrak yang dibuat untuk periode pengiriman tertentu sepanjang 2019-2021. Kontrak tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar permohonan izin impor, kendati tidak direalisasikan di tahun penerbitan perizinan impor (PI). Hal itu yang kemudian berpotensi terjadi penggelembungan volume gula rafinasi.
(Baca : Kemendag Siap Jelaskan Soal Lelang Gula Rafinasi ke Ombudsman)
Sementara, banyaknya realisasi kontrak banyak yang kedaluwarsa, mengindikasikan kebutuhan pembeli lebih kecil dibanding volume dalam kontraknya. "Sehingga ada kemungkinan GKR dijual ke pihak lain,” tutur Bachrul.
Selain itu, untuk kontrak yang memiliki klausul, jika pembeli hanya merealisasikan sebagian dari kontrak, maka penjual tidak mengenakan sanksi kepada kepada pihak pembeli juga menjadi indikasi adanya kelebihan impor bahan baku yang tidak digunakan untuk memenuhi kontrak.
“Ada pembeli yang melakukan kontrak dengan beberapa penjual. Namun, realisasi kontrak hanya sebagian saja, sehingga beberapa penjual memiliki cadangan bahan baku atau barang jadi yang tidak terealisasi. Kondisi ini berpotensi membuat cadangan GKR tersebut dijual ke pihak lain,” ungkpanya.
(Baca juga: Pemerintah Buka Impor 1,8 Juta Ton Gula Mentah)
Selain realisasi yang tidak sesuai dengan kontrak awal, kontrak yang sudah kedaluwarsa dan tidak dilakukan perpanjangan namun tetap berlaku. Sehingga pada saat realisasi, pengiriman barang sudah tidak memiliki dasar hukum juga bisa menjadi asumsi lain GKR bisa dipindah tangankan ke pihak lain.
Bachrul juga mengungkapkan, penggelembungan volume kontrak berpotensi terjadi bila perusahaan pembeli keberatan memberikan dokumen perizinan. “Apabila data perizinannya diketahui, maka akan dapat dideteksi pembeli mana yang membuat kontrak tidak sesuai dengan kebutuhannya,” ungkap Bachrul.
Menurut catatan Bappebti, hingga Februari 2018 uji coba lelang gula rafinasi telah melibatkan sekitar 1.965 pelaku usaha yang terdiri atas 451 industri besar/IKM dan 1.514 Koperasi/UKM/UMKM sebagai peserta beli. Sementara untuk peserta jual jumlahnya baru sekitar 11 perusahaan.
Karenanya, pemerintah mendorong perusahaan besar yang memiliki kontrak jangka panjang dengan industri gula rafinasi untuk masuk dalam pasar lelang GKR.
“Informasi seperti izin industri, nama perusahaan, kapasitas gudang, dan alamat pengiriman pembeli akan bermanfaat bagi tata niaga GKR,” ungkapnya.
Sepanjang September 2017 - Februari 2018, pasar lelang GKR mencatat volume transaksi sebesar 4.989 ton. Adapun per bulan, volume transaksi relatif tidak menunjukkan tren peningkatan, seperti untuk realisasi penjualan per September 2017 yang mencapai 70 ton kemudian meningkat menjadi 245 ton pada Oktober 2017, 611 ton pada November 2017, 929 ton pada Desember 2017, dan 1.763 ton pada Januari 2018. Sementara itu, volume transaksi pada Februari 2018 tercatat sebesar 1.371 ton.
Sementara untuk kisaran harga gula rafinasi di pasar lelang per bulannya juga terus mencatat penurunan. Misalnya untuk harga jual per September 2017 adalah Rp9.525/kg, kemudian turun ke kisaran Rp9.163/kg pada Oktober 2017, Rp9.107/kg pada November 2017, Rp8.967/kg pada Desember 2017, Rp8.910/kg pada Januari 2018, dan Rp8.879/kg pada Februari 2018.