Bergantung Impor Bahan Baku, Kapasitas Hulu Petrokimia Didorong
Kementerian Perindustrian berencana mendorong peningkatan kapasitas industri hulu petrokimia dalam negeri sehingga dapat memenuhi lonjakan permintaan bahan baku plastik saat ini. Alasannya, saat ini saja industri dalam negeri masih harus mengimpor hampir setengah kebutuhan bahan baku plastik dari luar negeri.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) pada 2017, jumlah permintaan untuk bahan baku industri plastik sebesar 5,8 juta ton per tahun. Dari angka itu, kapasitas industri plastik di Indonesia hanya sebesar 3.2 juta ton per tahun.
Adapun, utilisasi produksi industri plastik pada 2017 sebesar 2,53 juta ton per tahun dengan jumlah konsumsi daur ulang sebesar 1,155 juta ton per tahun. Alhasil, hal ini membuat jumlah impor industri plastik ke Indonesia masih sebesar 2,15 juta ton per tahun.
(Baca: Industri Petrokimia Alami Stagnasi Dua Dekade Terakhir)
"Importasi kita masih banyak," kata Direktur Jenderal Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono.
Menurut Sigit, masih besarnya impor bahan baku ini disebabkan minimnya pemecah nafta (naphta cracker) yang ada di Indonesia. Selama ini hanya ada satu naphta cracker yang menghasilkan produk olefin di Indonesia milik PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP) dengan kapasitas 860 ribu ton per tahun.
Dengan kapasitas tersebut, CAP baru mampu menghasilkan bahan baku industri plastik sebesar 2,45 juta ton per tahunnya. "Kemampuan cracker hanya satu yang dipunyai Chandra Asri," kata Sigit.
Adapun, CAP akan melakukan ekspansi dengan meningkatkan kapasitas naphta cracker menjadi 2 juta ton. Sementara, Lotte Chemical berencana membangun naphta cracker 1 juta ton per tahun.
(Baca: Kenaikan Harga Minyak Menekan Industri Plastik)
Sigit mengatakan, dengan bertambahnya kapasitas naphta cracker, industri petrokimia dalam negeri dapat meningkatkan efisiensi bahan baku plastik. Alhasil, industri petrokimia akan semakin mengurangi impor.
"Kalau ada (peningkatan kapasitas) naphta cracker dari Chandra Asih 1 juta, dari Lotte 1 juta jadinya 3 juta. Itu self efficiency kita bisa 50%," kata Sigit.
Guna meminimalisasi impor tersebut, pemerintah juga akan mendorong proyek gasifikasi batubara di Indonesia. Selama ini, proyek tersebut terkendala akibat dinilai hasil produksi gasifikasi batubara terlalu mahal.
"Tapi kalau lihat di China visible. Jadi hitung-hitungan kami yang enggak benar selama ini," kata Sigit.
Menurut Sigit, industri petrokimia di China kerap mensyaratkan pembelian batubara dengan kualitas rendah sebesar US$ 20 per ton. Hal itu, lanjutnya, memungkinkan untuk diterapkan sehingga proyek gasifikasi batubara dapat dijalankan dengan harga yang terjangkau.
"Itu baru visible dan itu kalau rank rendah mungkin dilakukan di Indonesia," kata Sigit.
Menurut Sigit, saat ini ada dua pelaku industri yang diharapkan ikut serta dalam proyek gasifikasi batubara. Rencananya, Bukit Asam bersama PT Pertamina (Persero) akan didorong untuk menginisiasi proyek tersebut di Sumatera.
"Satu lagi di kalimantan oleh swasta. Itu target saya, saya akan dorong," kata Sigit.
Target pertumbuhan stagnan
Sigit mengatakan, bahan baku industri petrokimia yang masih bergantung dengan impor membuat pertumbuhan industri petrokimia stagnan beberapa tahun.
Pada 2018, Kemenperin menargetkan pertumbuhan produksi industri petrokimia sebesar 7,6%, atau hampir sama dengan proyeksi pada 2017 yang berada di rentang 7%-8%.
Selain persoalan impor bahan baku, Ketua Umum Inaplas Didik Susilo menambahkan, tantangan lainnya yang dihadapi oleh industri petrokimia di tahun ini adalah adanya wacana pengenaan cukai plastik. Adapula program penurunan volume sampah 25% oleh pemerintah yang akan berpengaruh langsung terhadap penurunan konsumsi barang plastik di Indonesia.
(Baca: Empat Perusahaan Sinergi Ubah Batu Bara Jadi Gas dan Petrokimia)
"Belum lagi implementasi dari FTA antara Asean dengan mitra kerjanya yaitu China yang akan berakibat pada melonjaknya harga produk jadi plastik," kata Didik.
Menurut Didik, perjanjian perdagangan bebas tersebut bakal menaikkan impor barang jadi plastik. Dia memperkirakan jumlah impor mencapai US$ 2 miliar atau senilai 800 ribu ton per tahun.
"Sementara belum terintegrasinya industri petroleum dan petrokimia. Belum ada pula industri petrokimia olefin alternatif, sehingga ketersediaan bahan baku terbatas," kata Didik.
Kendati, Inaplas optimistis tahun ini pertumbuhan industri petrokimia bakal lebih baik dibandingkan pada 2017. Sebab, tahun politik yang berlangsung pada 2018 dan 2019 akan meningkatkan konsumsi plastik di Indonesia seiring tingginya kebutuhan makanan dan minuman.
"Kemudian kita akan panen beras, panen raya dua kali dan itu nyambung Jawa Timur duluan, Jawa Barat, lalu Jawa Tengah. Artinya kebutuhan plastik untuk pupuk, masa panen, dibungkus jadi beras, itu pasti akan meningkatkan konsumsi plastik," kata Wakil Ketua Inaplas Budi Susanto Sadiman.