Neraca Dagang Maret Bisa Surplus karena Investasi Swasta Lesu
Surplus neraca dagang atau neraca ekspor-impor sejak awal tahun ini diperkirakan masih akan berlanjut pada Maret 2016. Meski begitu, para ekonom menyoroti angka impor yang rendah menunjukkan masih lesunya investasi swasta.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memproyeksikan, neraca dagang pada Maret lalu bisa surplus hingga US$ 400 juta. Meski nilainya lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat surplus US$ 1,14 miliar, kondisi ini menujukkan adanya perbaikan ekonomi. Dengan begitu, neraca dagang sejak awal tahun bisa surplus hingga US$ 1,5 miliar.
“Itu kan kondisi yang baik,” ujar Agus di Kementerian Keuangan, akhir pekan lalu. Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) baru akan mengumumkan neraca dagang Maret 2016 pada Jumat nanti (15/4).
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga memperkirakan, neraca dagang Maret bisa surplus US$ 300 juta sampai US$ 500 juta. Pendorong utamanya, harga minyak dan beberapa komoditas lainnya mulai mencatatkan kenaikan sejak Februari lalu. Hal ini membantu neraca dagang, dari sisi ekspor minyak dan gas bumi (migas). Sedangkan ekspor komoditas, diperkirakan tetap stagnan karena permintaan masih minim.
(Baca: Bank Dunia: Pertumbuhan Indonesia Tergantung Paket Ekonomi)
Menurut dia, yang terpenting dari neraca dagang bukanlah soal angka surplus ataupun defisit. Tapi yang perlu dilakukan adalah perbaikan neraca dagang yang berkesinambungan. Sedangkan yang terjadi belakangan ini, surplus neraca dagang lebih disebabkan oleh penurunan impor yang lebih besar daripada ekspor.
Hal ini menunjukan pihak swasta masih ragu-ragu untuk berinvestasi, sehingga impor bahan baku ataupun konsumsi rendah. David menduga, pihak swasta masih menunggu implementasi dari paket kebijakan ekonomi pemerintah. “Harapannya di kuartal II sampai IV swasta ikut kencang aktivitasnya. Inisiasinya dari pemerintah dulu. Sejauh ini (swasta) belum optimal,” katanya kepada Katadata, Senin (11/4).
(Baca: Ekspor Migas dan Perhiasan Menopang Surplus Dagang Februari)
Meski begitu, ia melihat ada perbaikan kepercayaan dari investor dan swasta terhadap perekonomian saat ini dibanding tahun lalu. Hal itu terlihat dari besarnya dana asing yang masuk (capital inflow) di pasar modal. Minat untuk investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) juga meningkat, namun realisasinya belum terlihat. Sebab investor masih melihat dan menunggu dampak dari kebijakan pemerintah.
Pandangan serupa disampaikan oleh Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih. Menurut dia, impor yang terus melorot menunjukkan kegiatan ekonomi belum bergerak signifikan. Jika kondisi itu terus berlanjut, kata dia, dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
(Baca: Pemerintah Izinkan Impor Kendaraan dan Mesin Bekas)
Di tempat terpisah, Bank Dunia memprediksi Indonesia mencatat pertumbuhan 5,1 persen tahun ini dan 5,3 persen pada 2017. Pencapaian Indonesia bergantung pada keberhasilan paket reformasi kebijakan dan implementasi program investasi publik, yang dinilai Bank Dunia cukup ambisius.
“Di antara perekonomian Asia Tenggara yang besar, prospek pertumbuhan Filipina dan Vietnam paling besar. Keduanya diperkirakan tumbuh lebih dari 6 persen di 2016,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty melalui video conference di kantor Bank Dunia, Jakarta, Senin (11/4).