Perdagangan Bebas Indonesia-Australia Berlaku, Siapa yang Untung?
Data Perdagangan Indonesia-Australia
Total perdagangan barang Indonesia-Australia pada 2019 mencapai US$ 7,8 miliar. Ekspor Indonesia tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan impor sebesar US$ 5,5 miliar, sehingga Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
Dari sepuluh besar komoditas impor Indonesia dari Australia mayoritas merupakan bahan baku dan penolong industri. Di antaranya, ada gandum, batubara, bijih besi, alumunium, seng, gula mentah, serta susu dan krim.
Sementara dari sisi perdagangan jasa, menurut statistik Australia, pada periode 2018—2019 ekspor jasa Indonesia mencapai AUD 4,4 miliar dan impor jasa sebesar AUD 1,7 miliar yang menjadikan Indonesia suplus AUD 2,7 miliar. Sektor penyumbang surplus Indonesia adalah sektor jasa pariwisata dan transportasi, sementara Indonesia mengimpor jasa terkait pendidikan dari Australia.
Adapun investasi Australia di Indonesia pada 2019 mencapai US$ 264 juta dengan 740 proyek. Di antaranya, ada pada sektor pertambangan, industri logam, tanaman pangan, hotel dan restoran, listrik, gas dan air, industri makanan, industri kimia dan farmasi serta perdagangan dan reparasi.
Perundingan IA-CEPA diluncurkan pada 2 November 2010 pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perundingan pertama dan kedua diselenggarakan pada September 2012 dan Juli 2013, tetapi terhenti selama 3 tahun.
Pada Maret 2016, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Australia yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Malcolm Turnbull sepakat melanjutkan kembali perundingan. Kemudian, setelah melalui 12 putaran perundingan dan 5 pertemuan Ketua Perunding, kedua negara berhasil menyelesaikan perundingan secara substansial pada 31 Agustus 2018.
IA-CEPA kemudian ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan RI dan Menteri Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Australia di Jakarta, pada 4 Maret 2019. IA-CEPA telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah melalui Undang-Undang nomor 1 tahun 2020 pada 28 Februari 2020.