Tak Dapat Banyak Insentif, Bisnis Penerbangan Diramal Baru Pulih 2024
Sektor transportasi merupakan salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Jumlah penumpang yang menggunakan moda penerbangan turun signifikan seiring berbagai kebijakan pembatasan, mulai dari PSBB (pembatasan sosial berskala besar) hingga PPKM (penerapan pembatasan kegiatan masyarakat).
Ketua umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja meyakini industri penerbangan nasional membutuhkan bantuan dan dukungan pemerintah melalui berbagai insentif untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.
"Untuk memulihkan sektor penerbangan dibutuhkan insentif perpajakan dan biaya-biaya kebandarudaraan," kata Ketua Umum Indonesia National Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja melalui keterangan tertulis, Jumat (26/2).
Denon menjelaskan seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan insentif kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020. Ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan.
Namun Denon mengklaim sejauh ini permintaan tersebut belum mendapat persetujuan. Padahal industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian yang menyumbang lebih dari 2,6% produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta tenaga kerja.
Meski demikian dia memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.
Selain itu, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah BUMN yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.
Biaya bahan bakar avtur memakan 40-45% biaya operasional maskapai. Sementara maskapai hanya bisa beli avtur dari Pertamina. “Itu sebabnya, kami mohon fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” ujarnya.
Lagi-lagi permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut belum mendapatkan respons yang positif dari BUMN terkait.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang pesawat sepanjang 2020 hanya mencapai 32,4 juta orang atau turun 57,76% dibandingkan tahun sebelumnya 76,7 juta orang. Simak databoks berikut ini:
Secara terpisah, CEO Indonesia AirAsia Veranita Yosephine mengungkapkan saat ini maskapai penerbangan sedang bernegosiasi dengan pengelola bandara terkait biaya parkir pesawat yang tidak aktif untuk mendapatkan penundaan atau pemotongan biaya.
Saat ini, salah satu insentif yang telah terealisasi adalah keringanan biaya Passenger Service Charge (PSC) untuk mendorong masyarakat bepergian dengan maskapai penerbangan.
Ke depan, menurut Veranita, pemerintah diharapkan mulai menyiapkan pembukaan pintu perbatasan internasional, terutama dalam pemenuhan syarat-syarat kesehatan yang ditetapkan, seperti keterangan bebas Covid-19 maupun vaksinasi.
“Kami terus berkoordinasi dengan otoritas, asosiasi dan pemangku kepentingan penerbangan agar bisa bertahan dan pulih dari kondisi dampak pandemi ini," ujarnya.
Direktur Utama PT Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo berharap masyarakat memilih moda transportasi udara untuk melakukan perjalanan.
Jika vaksinasi dapat terpenuhi sesuai target, dia pun berharap, secara bertahap permintaan penerbangan akan mulai pulih pada 2022. "Jangka waktu paling optimis yang pernah disebutkan adalah akhir 2023 atau awal 2024, itu baru akan kembali ke angka trafik seperti 2019," ujarnya.