Dua Maskapai Penerbangan Rugi Triliunan Rupiah Akibat Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 telah berdampak pada kinerja maskapai penerbangan. Dua emiten maskapai penerbangan, PT Air Asia Indonesia Tbk dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan penurunan pendapatan, bahkan rugi hingga triliunan rupiah di kuartal III 2020.
Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan Garuda anjlok hingga 67,84% dan AirAsia 71,0%. Laba bersih kedua perusahaan yang berhasil diperoleh pada kuartal III tahun lalu berbalik menjadi rugi bersih sepanjang sembilan bulan tahun ini.
PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) harus menanggung kerugian hingga Rp 1,71 triliun hingga triwulan III 2020 di tengah pandemi Covid-19. Raihan tersebut berbanding terbalik dengan laba Rp 422,05 juta pada periode sama tahun lalu.
Manajemen AirAsia mengatakan sejak awal 2020 kegiatan usaha perusahaan telah dan mungkin terus dipengaruhi penyebaran Covid-19. "Perpanjangan penyebaran wabah dapat berdampak fatal pada perekonomian Indonesia dan perusahaan," kata manajemen dalam laporan keuangan AirAsia.
Menurut AirAsia, keharusan melakukan pembatasan sosial serta pembatasan perjalanan diperkirakan akan mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam pasar perjalanan udara. Pada saat ini, masih terdapat ketidakpastian atas waktu pemulihan industri penerbangan.
Hal tersebut memang terlihat pada pendapatan usaha AirAsia yang hanya mampu meraup Rp 1,39 triliun pada triwulan III 2020. Angka turun drastis hingga 71,07% dibandingkan dengan pendapatan usaha AirAsia pada periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 4,82 triliun.
Penurunan pendapatan disebabkan penerbangan berjadwal dari penumpang yang hanya Rp 1,13 triliun atau turun hingga 71,53% secara tahunan. Penurunan jumlah penumpang berpengaruh pada pendapatan bagasi yang hanya Rp 129,39 miliar, turun 75,65% secara tahunan.
Bisnis penerbangan berjadwal AirAsia pada triwulan III 2020 juga disokong pendapatan dari kargo. Masalahnya, pendapatan dari bisnis ini juga turun 19,91% menjadi Rp 43,06 miliar. 19,91% secara tahunan. Dari bisnis ground handling, juga turun 48,96% menjadi Rp 23,47 miliar.
Anjloknya total pendapatan usaha AirAsia tersebut membuat perusahaan mengalami rugi usaha senilai Rp 2,05 triliun hingga triwulan III 2020, berbanding dengan laba usaha Rp 64,33 miliar. Sebab, total beban usaha perusahaan yang menggerus profitabilitas pada triwulan III 2020 mencapai Rp 3,45 triliun, meski turun 27,45% secara tahunan dari Rp 4,76 triliun.
Memang penurunan pendapatan juga diikuti penurunan beban biaya yang ditanggung perusahaan di hampir semua pos. Namun, penurunannya tidak setinggi pendapatan. Biaya bahan bakar turun hingga 47,34% menjadi Rp 968,57 miliar pada akhir September 2020. Bahkan, AirAsia tidak mencatat adanya beban sewa pesawat hingga triwulan III 2020, dibanding periode sama tahun lalu senilai Rp 533,5 miliar.
Penurunan juga terjadi pada pos perbaikan dan perawatan pesawat sebesar 48,18% menjadi Rp 400,91 miliar. Beban pelayanan pesawat dan penerbangan AirAsia pun hanya Rp 245,86 miliar, turun 56,59%
Manajemen AirAsia menyatakan akan terus memonitor perkembangan situasi terkait Covid-19. Dalam rangka mengantisipasi terjadinya efek yang merugikan kinerja keuangan, manajemen mengimplementasikan berbagai rencana strategi.
Beberapa strategi yang akan dijalankan AirAsia di antaranya langkah-langkah penghematan biaya yang telah dilaksanakan dan akan terus diimplementasikan sampai saat pemulihan situasi bisnis untuk menjaga kesinambungan usaha. Penghematan tersebut seperti pengurangan gaji, serta pengurangan kegiatan acara, sponsor, dan biaya-biaya pemasaran.
"Kami juga bekerja sama dengan Grup AirAsia untuk negosiasi ulang biaya dengan vendor-vendor. Lalu, juga melakukan optimalisasi kapasitas pesawat," kata manajemen AirAsia.
Pandemi Covid-19 memang membuat bisnis aviasi terdampak negatif. Tak hanya AirAsia, maskapai penerbangan pelat merah pun mengalami hal yang sama akibat pandemi. Garuda harus menanggung kerugian hingga US$ 1,07 miliar atau setara Rp 15,34 triliun hingga triwulan ketiga 2020 (asumsi kurs: Rp 14.280 per dolar).
Berdasarkan laporan keuangan Garuda yang dirilis melalui keterbukaan informasi, Kamis (5/11), kinerja kuartal ketiga 2020 berbanding terbalik dengan raihan profit periode yang sama tahun lalu. Garuda mampu meraih laba bersih US$ 122,42 juta atau Rp 1,74 triliun pada triwulan ketiga 2019.
Penurunan kinerja tersebut disebabkan pendapatan usaha Garuda yang anjlok. Hingga akhir September 2020, Garuda hanya mampu mengantongi pendapatan senilai US$ 1,13 miliar, turun hingga 67,85% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu senilai US$ 3,54 miliar.
Pendapatan Garuda mayoritas masih didominasi dari penerbangan berjadwal, senilai US$ 917,28 juta pada triwulan III 2020. Masalahnya, pendapatan penerbangan berjadwal ini anjlok hingga 67,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 2,79 miliar.
Optimisme di Akhir Tahun
Bisnis pariwisata mulai bangkit meski pandemi belum berakhir. Salah satu indikasinya, penerbangan mulai ramai saat libur panjang akhir pekan pada Oktober 2020 lalu. Selain itu, masyarakat yang bepergian ke luar kota juga membuat hunian hotel mulai bertambah.
Garuda melayani sampai 40 ribu penumpang per hari pada libur Panjang akhir pekan tersebut. Angka itu 100% lebih tinggi dari target perusahaan sebanyak 20 ribu per hari. Garuda pun menjalankan berbagai strategi untuk terus meningkatkan jumlah penumpang. Di antaranya, dengan memberikan diskon harga tiket ke sejumlah tujuan.
Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi airport tax di sejumlah bandara. “Harga memang penting, makanya di momen tertentu kami memberikan penawaran harga,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam Indonesia Industry Outlook 2021 (6/11).
Selain itu, maskapai juga meningkatkan keamanan melalui penerapan protokol Kesehatan secara ketat. “Garuda Indonesia memastikan jumlah penumpang untuk terbang terus meningkat. Bersamaan dengan tagline perusahaan, kami hendak meyakinkan penumpang bahwa terbang bersama Garuda bisa aman dan terpercaya,” ujarnya.
Ia memperkirakan, lonjakan penumpang pesawat akan kembali terjadi saat libur Panjang akhir tahun 2020 mendatang. Setelah itu, ia berharap penerbangan akan berangsur normal pada tahun depan. Apalagi, beberapa rute internasional mulai dilonggarkan.