Makin Diminati Dunia, Ekspor Batik Mencapai Rp 7,5 triliun Pada 2020
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, ekspor batik Indonesia pada 2020 mencapai US$ 532,7 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun.
Sedangkan ekspor produk kerajinan lainnya mencapai US$ 9 juta atau sekitar Rp 128,3 miliar dengan pasar utama ekspor barang kerajinan antara lain Amerika Serikat (AS), Malaysia, Jepang, Korea dan Jerman.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, produk batik Indonesia berperan penting bagi perekonomian nasional dan berhasil menjadi market leader pasar batik dunia.
“Industri batik yang ada di Indonesia mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan produknya telah diminati di pasar global,” kata Agus dalam Puncak Peringatan Hari Batik Nasional 2021 Kemenperin secara virtual, Rabu (6/10).
Dengan potensi besar tersebut, industri batik masuk sebagai salah satu subsektor prioritas dalam implementasi peta jalan integrasi Making Indonesia 4.0. I
Industri batik mendapat pengembangan karena dinilai mempunyai daya ungkit besar dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, produk batik menjadi salah satu penyebab tumbuhnya sektor tekstil dan pakaian jadi di Indonesia.
Industri kerajinan dan batik juga merupakan salah satu sektor yang banyak membuka lapangan kerja dan merupakan sektor yang didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM).
“Terhitung ada sekitar 47 ribu unit usaha yang tersebar di 101 sentra batik di Indonesia. Selain itu, jumlah industri kerajinan Indonesia ada lebih dari 700 ribu unit usaha dan menyerap tenaga usaha lebih dari 1,5 juta orang,” ujar dia.
Meski batik Indonesia merupakan batik yang paling terkenal di dunia saat ini, batik juga dapat ditemukan di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, India, Srilanka, Iran dan negara-negara di Benua Afrika lainnya.
Dengan demikian penggunaan batik di dunia ini semakin populer sehingga menjanjikan potensi ekonomi yang sangat besar.
Beberapa negara seperti Tiongkok dan Malaysia secara serius menjadikan batik sebagai komoditas ekspor. Negara-negara tersebut terus mengembangkan mesin batik printing dengan teknologi yang paling canggih.
Mereka juga meniru desain dan corak batik Indonesia dengan tujuan merebut pasar pasar yang selama ini diisi oleh batik Indonesia.
“Dengan semakin populernya batik di dunia, persaingan global termasuk gempuran produk impor. Ini merupakan tantangan yang dihadapi oleh industri Batik Nasional, namun harus bisa kita hadapi bersama,” katannya.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan tantangan lain yang dihadapi industri batik nasional yakni faktor sumber daya manusia (SDM) dalam industri batik yang semakin berkurang.
Tenaga kerja dengan kualitas dan keterampilan yang tinggi diperlukan, selain itu diperlukan juga SDM yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan inovasi desain.
Selain itu, pengrajin batik tulis jumlahnya semakin terbatas dan banyak yang telah lanjut usia. Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya serius untuk mempercepat proses regenarasi batik tulis di Indonesia.
“Ini tentunya harus digalakkan di kalangan generasi muda, dengan menumbuhkan minat dan keterampilan mereka untuk terjun ke industri batik,” ujarnya.
Mantan Menteri Sosial tersebut mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, utamanya terkait program promosi yang perlu dilakukan oleh semua stakeholder.
Karena itulah, promosi yang masif akan terus dilakukan di kota-kota besar dunia, seperti di New York, Los Angeles, Tokyo, Paris, London, dan kota-kota besar lainnya di dunia.
Pihaknya akan berkoordinasi dengan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas), Yayasan Batik Indonesia, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dan para pelaku usaha untuk secara intensif melakukan promosi produk batik Indonesia.
“Saya juga minta kepada jajaran di Kemenperin untuk menjajaki bagaimana kita bisa membantu bersama-sama dengan Dekranas dan Yayasan Batik Indonesia melakukan promosi batik di kota-kota besar di dunia,” kata dia.