Solar Langka, Bisnis Logistik di Daerah Setop Beroperasi
Kelangkaan pasokan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar di Sulawesi, Kalimantan, serta beberapa wilayah Sumatera membuat bisnis logistik terpukul. Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) melaporkan beberapa anggotanya terpaksa menghentikan sementara kegiatan operasionalnya akibat kelangkaan solar.
Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan banyak menerima keluhan dari pelaku usaha logistik di daerah mengenai kelangkaan BBM jenis solar. Pengusaha logistik dalam kondisi kritis karena pasokan BBM jenis solar sangat menipis. Bahkan mereka tidak berani mengeluarkan armadanya lantaran harus antre hingga berhari-hari untuk memperoleh solar.
“Ada yang mengeluhkan berhenti. Daripada antre berhari-hari, ya udah disetop saja,”kata Yukki saat dihubungi Katadata, Selasa (29/3/2022).
Yuki mengatakan, kelangkaan solar menyebabkan kerugian pada pengusaha logistik. Apalagi banyak pelaku usaha itu yang masih memiliki kewajiban membayar cicilan kredit ke bank.
Menurut dia, pemerintah perlu duduk bersama dengan PT Pertamina dan pelaku usaha untuk mencari solusi yang terbaik. Jika perlu, Yukki mengusulkan agar subsidi Solar dihapuskan saja sehingga pelaku usaha bisa memperoleh kepastian dan bekerja normal.
"Seharusnya jika ada penyaluran BBM Solar bersubsidi, bisa dipastikan jaminan ketersediaanya. Jangan sampai BBM jenis itu digunakan tidak sesuai peruntukannya. Saat ini kebanyakan digunakan oleh kendaraan pengangkut sawit maupun pertambangan yang semestinya tidak mendapatkan jatah subsidi," ucap Yukki.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, kelangkaan stok solar subsidi di sejumlah SPBU disebabkan oleh peningkatan permintaan dari sektor logistik dan kebutuhan produksi pabrik sebesar 10%. Sementara pasokan turun 5% dari tahun lalu.
Dia mengatakan, subsidi solar diperuntukkan bagi sektor retail yang mengangkut barang-barang UMKM, petani, dan nelayan yang mencapai 14 juta kilo liter (KL). Adapun solar non-subsidi diperuntukkan bagi sektor industri besar dengan pasokan 900.000 Kl atau 0,9 juta KL.
Nicke melanjutkan, kelangkaan solar subsidi juga dipengaruhi oleh selisih harga solar subsidi dan solar non-subsidi yang mencapai Rp 7.800 per liter. Selisih harga ini mendorong pergeseran konsumsi yang dilakukan oleh pihak tak berhak menerima solar subsidi.
“Inilah yang mendorong penyaluran solar subisidi tidak tepat sasaran, Ini yang harus kita lihat, apakah ini betul untuk mendukung logistik dan industri kecil,” kata Nicke saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Senin (28/3).
Dia menambahkan, porsi solar subsidi yang telah terjual hingga hari ini mencapai 93% dari total pasokan. Solar non subsidi hanya 7%. Menurut pantauan Pertamina dan aparat kepolisian di lapangan, antrean solar di sejumlah SPBU justru dipenuhi oleh antrean truk-truk industri besar seperti sawit dan pertambangan. “Ini perlu ditertibkan. Selain itu, yang dibutuhkan itu ada peraturan yang lebih detail atau turunan Perpres untuk referensi hukum di lapangan,” sambung Nicke.
Kebutuhan solar meningkat saat pemulihan ekonomi. Sebelumnya, realisasi penyaluran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menurun di 2020, karena adanya pembatasan sosial berskala besar.