Wacana Kenaikan BBM, Industri Makanan dan Minuman Akan Kurangi Margin

Andi M. Arief
30 Agustus 2022, 17:24
Warga berbelanja makanan dan minuman di salah satu minimarket Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memproyeksi industri makanan dan minuman bisa tumbuh lima persen hingga tujuh persen pada t
ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.
Warga berbelanja makanan dan minuman di salah satu minimarket Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memproyeksi industri makanan dan minuman bisa tumbuh lima persen hingga tujuh persen pada tahun 2021 didorong oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan tumbuh hingga enam persen berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF).

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia atau Gapmmi menyatakan dampak dari kenaikan bahan bakar minyak tidak akan signifikan. Pasalnya, harga bahan bakar yang dinikmati industri makanan dan minuman sudah sama dengan harga BBM internasional.

Ketua Gapmmi, Adhi S. Lukman, mengatakan kenaikan harga BBM hanya akan berdampak pada biaya logistik. Proses logistik pada industri makanan dan minuman saat ini adalah transportasi bahan baku ke pabrik dan transportasi barang jadi ke pasar.

"Biaya logistik rata-rata berkontribusi sekitar 6% ke biaya produksi. Oleh karena itu, kira-kira pengaruhnya 1% - 2% dari harga produk itu sendiri," kata Adhi dalam konferensi pers Food Ingredients Asia 2022 di Jakarta, Selasa (30/8).

Oleh karena itu, Adhi mengatakan mayoritas pelaku industri makanan dan minuman memilih untuk menyerap peningkatan biaya produksi tersebut dan mengurangi margin pendapatan. Pertimbangannya, lanjut Adhi, daya beli masyarakat saat ini masih belum pulih dari pandemi Covid-19.

Di samping itu, Adhi menilai peningkatan harga jual produk pangan olahan tidak mudah lantaran rantai produksinya yang panjang. Maka dari itu, peningkatan harga pangan olahan memerlukan negosiasi di setiap rantai pasok industri pangan olahan.

Oleh karena itu, Adhi mendorong pelaku industri makanan dan minuman untuk melakukan substitusi sebagian bahan baku maupun bahan penolong. Menurutnya, strategi ini dapat menolong tekanan pada margin pendapatan.

Di sisi lain, Adhi menilai dampak kenaikan harga BBM terhadap harga jual pangan olahan terbilang kecil jika dibandingkan dengan tren peningkatan harga komoditas pada paruh pertama 2021. Menurutnya, dampak kenaikan harga komoditas pada harga jual dapat mencapai 3% per bulan atau 18% sepanjang semester I-2022.

"Jadi, kalau kenaikan harga jual 1% masih entenglah untuk diserap pelaku industri makanan dan minuman," kata Adhi.

Belum lama ini, pemerintah mengumumkan menambah anggaran untuk bantuan sosial sebesar Rp 24,17 triliun. Bantuan sosial tersebut dibagi menjadi tiga jenis, yakni bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 12,4 triliun, subsidi upah sebanyak Rp 9,6 triliun, dan bantuan anggaran daerah sejumlah Rp 2,17 triliun.

 Adhi berharap agar pencairan bantuan sosial tersebut berlangsung cepat. Pasalnya, bantuan sosial tersebut dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan pangan olahan di dalam negeri.

"Dengan RP 24 triliun masyarakat bisa beli balik hasil industri, kami bisa produksi terus, pekerja terus berjalan, roda ekonomi terus berputar," kata Adhi.

Pakar Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November Saut Gurning mengatakan biaya logistik darat bahkan mencapai 50% dari total biaya logistik di dalam negeri. Adapun, harga BBM berkontribusi sebanyak 40%-60% baik di logistik darat maupun laut.

Dengan demikian, Saut mengatakan, perubahan harga BBM akan berdampak pada 42% dari total biaya logistik di dalam negeri. Menurutnya, kenaikan biaya logistik akan berdampak langsung pada komoditas yang tidak diolah atau diolah dengan teknologi rendah. Sementara industri berteknologi tinggi relatif tidak terdampak karena memiliki margin tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks harga konsumen (IHK) sub kelompok jasa angkutan umum secara nasional naik 11,55% (year to date/ytd) ke level 122,75 pada Juli 2022 dibanding posisi Desember 2021 masih berada di posisi 110,04.

Dari 90 kabupaten/kota yang disurvei BPS, ada 48 yang kenaikan ongkos jasa angkutan umumnya di atas angka nasional. Sisanya, 42 kabupaten/kota inflasi jasa angkutan umumnya di bawah angka nasional.

Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...