Harga Beras Cetak Rekor, Biaya Produksi Jauh Lebih Tinggi dari Vietnam
Harga beras cetak rekor mencapai titik tertinggi selama lima tahun. Kondisi tersebut dipengaruhi biaya produksi yang jauh lebih tinggi dari negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam dan Thailand.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, rata-rata nasional harga beras medium mencapai Rp 11.800 per kg pada Selasa (14/3). Sementara rata-rata nasional harga beras premium mencapai Rp 13.700 per kg.
Harga tersebut merupakan rekor tertinggi selama lima tahun. Berikut perbandingannya seperti terlihat dalam grafik.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Mukhammad Faisol Amir mengatakan berbagai persoalan masih ada pada produksi beras, seperti tingginya ongkos produksi dan minimnya akses petani terhadap input pertanian berkualitas.
"Belum lagi faktor di luar proses seperti melemahnya daya beli, kenaikan harga bahan bakar minyak dan krisis iklim,” terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir dalam keterangan tertulis, Selasa (14/3).
Faisol menambahkan, tingginya ongkos produksi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga beras nasional menjadi tinggi. Kondisi geografis Indonesia juga membuat biaya pengangkutan menjadi tinggi.
Studi International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 2016 menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam dan 2 kali lebih mahal dari Thailand. Studi ini juga menunjukkan rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia adalah Rp 4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam (Rp 1.679), dan hampir 2 kali lipat biaya produksi di Thailand (Rp 2.291) dan India (2.306).
Ongkos produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan ongkos produksi di Filipina (Rp 3.224) dan Tiongkok (Rp 3.661). Kondisi tersebut menyebabkan harga beras di Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Harga Fleksibilitas Belum Tentu Efektif Tekan Harga Beras
Faisol mengatakan, pemerintah seharusnya menyelesaikan fokus utama tersebut untuk menekan harga beras. Namun demikian, pemerintah malah memilih mengeluarkan ketentuan felksibilitas harga gabah yang berlaku 11 Maret 202.
Menurut dia, felksibilitas harga gabah belum tentu efektif dalam menstabilkan harga beras. Terlebih, harga gabah kering panen yang ditawarkan oleh pemerintah masih belum cukup kompetitif.
BPS mencatat, harga gabah kering panen di bulan februari lalu sebesar Rp 5.711 per kg. Sementara dengan fleksibilitas harga, gabah dihargai sebesar Rp 5.000,- di tingkat petani.
"Walaupun bermaksud memberikan jaminan harga, kebijakan ini justru tidak menarik bagi petani," ujarnya.
Faisal mengatakan, kebijakan ini justru memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Di sisi lain pemerintah justru menyebut panjangnya rantai distribusi adalah penyebab tingginya harga beras di Indonesia.
"Kalau begitu pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi yang panjang dulu sebelum menerapkan fleksibilitas," ujarnya.
Untuk di sisi hilir, pemerintah sudah seharusnya lebih responsif terhadap kemungkinan impor beras untuk memenuhi kebutuhan beras domestik dan juga untuk menahan tingginya harga di pasar. Saat ini pemerintah tidak bisa memenuhi jumlah seluruh permintaan beras dengan harga yang terjangkau.
Pada akhirnya petani akan dihadapkan pada pilihan yang terbatas. Nilai HPP yang lebih rendah daripada harga di pasar jelas akan merugikan petani.
"HPP sudah tidak realistis. Petani jelas akan menjual diatas HPP apalagi sekarang banyak masalah terkait produktivitas lahan seperti kekeringan dan cuaca yang tidak diprediksi," ujarnya.