Asian Agri Targetkan 5.000 Petani Sawit Tersertifikasi RSPO di 2030
Asian Agri mematok target untuk membantu 5.000 petani sawit swadaya mendapatkan sertifikasi Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) hingga 2030.
Wakil Kepala Kemitraan Asian Agri Edy Sukamto mengatakan Asian Agri telah menjalin kemitraan dengan Apical dan KAO untuk membantu sertifikasi petani melalui program pemberdayaan SMILE. Ini merupakan inisiatif yang diluncurkan sejak 2020 dengan menyasar para petani sawit swadaya di Sumatera Utara, Riau, dan Jambi. Hingga saat ini, program Smile telah membantu sertifikasi 628 petani dengan total 1.665 hektare.
“Kalau diambil angka rata-rata 2 hektare kebun per petani, maka target kami sekitar 10.000 hektare kebun sawit bersertifikasi RSPO di 2030,” ujarnya, di sela-sela kunjungan ke kebun Asian Agri di Riau, Kamis (11/5).
Edy mengatakan sertifikasi RSPO memberikan banyak keuntungan bagi petani dan perusahaan. Sertifikasi mengharuskan petani untuk berlembaga dan menjalankan praktik budidaya perkebunan yang baik. Ini mulai dari pemupukan, pemeliharaan hingga pemanenan.
Edy menyebutkan selain suplai dari kebun milik perusahaan dan plasma, Asian Agri memang mengandalkan petani swadaya untuk memasok tandan buah segar. Saat ini, Asian Agri menerima pasokan TBS dari 42.500 hektare kebun sawit dari para petani swadaya.
Menurut Edy, salah satu tantangan petani sawit swadaya saat ini adalah produktivitas. Dia mencontohkan, kebun inti perusahaan bisa menghasilkan 30 ton per hektare per tahun. Sementara kebun sawit petani swadaya hanya menghasilkan sekitar 15 ton per hektare per tahun.
“Sejak program pemberdayaan kami luncurkan, produktivitas petani sudah meningkat sampai 20 ton per hektare per tahun,” katanya.
Head of Smallholders RSPO Guntur Cahyo Prabowo mengatakan ada beberapa tahapan yang harus dilewati para petani agar bisa memperoleh sertifikasi. Pertama, para petani harus berlembaga secara kolektif. Kelembagaan ini biasanya berbentuk kelompok tani yang kemudian diakomodir dalam bentuk koperasi, asosiasi, atau gabungan kelompok tani.
“Ide sertifikasi memberikan kemandirian finansial dan kemitraan,” katanya.
Setelah membentuk kelembagaan, para petani harus menjalankan teknik budidaya kerja yang baik melalui peningkatan kapasitas dan pelatihan. Lembaga ini juga harus menjalin kemitraan profesional dengan pabrik minyak kelapa sawit. Tantangan berikutnya, petani juga harus memastikan lahan sawit yang dimilikinya sesuai dengan legalitas sesuai yang diatur dalam regulasi.
“Ini sesuai dengan yang dimandatkan negara pengimpor seperti Eropa yang petani harus memastikan titik koordinat dan poligon kebun sawit,” katanya.