Cerita Mereka Boikot Produk Israel: Ganti Air Isi Ulang, Jajanan Lokal
Sudah hampir dua bulan terakhir Faris, 35 tahun dan keluarganya mengganti air minum dalam galon mereka dengan isi ulang. Padahal dalam satu pekan, ia dan keluarganya biasanya membeli tujuh galon Aqua untuk minum sehari-hari.
"Yang paling otomatis berubah di rumah itu air galon, sekarang ganti isi ulang. Makan di MCD juga sudah enggak," ujar Faris kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu.
Ia berpartisipasi dalam aksi boikot yang dipopulerkan melalui gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Gerakan ini sudah dimulai sejak 2005 dan ramai kembali di serukan di tengah perang Israel dan Hammas yang kembali menewaskan belasan ribu warga sipil Palestina.
Dalam situs BDS Movement, merek menyerukan dukungan untuk Palestina dengan memboikot produk-produk yang dianggap menndukung aksi Israel. Beberapa, di antaranya yakni AXA, HP, Carrefour, Siemens, Puma, Domino’s, Starbucks, MCD, Burger King, dan Pizza Hut.
Danone sendiri tak masuk dalam daftar perusahaan yang perlu diboikot dalam situs maupun media sosial DBS. Namun demikian, tagar boikot Danone, #TolakDanoneAqua sempat menjadi topik terpopuler di platform X yang sebelumnya bernama Twitter karena dianggap terafiliasi dengan Israel.
Sanggahan pun telah disampaikan oleh pihak Danone. Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin menegaskan bahwa Danone adalah perusahaan publik yang beroperasi di 120 negara.Danone juga tidak memiliki pabrik atau beroperasi di Israel, serta tidak memiliki afiliasi politik dengan pihak manapun.
Meski sudah membuat klarifikasi, aksi boikot terhadap produk air mineral ini masih dilakukan sebagian masyarakat, termasuk Faris.
Faris memiliki memboikot produk-produk perusahaan yang secara terang-terangan maupun tidak berdonasi ke Israel. Ia tidak ingin uang yang dia gunakan untuk membeli produk tersebut pada akhirnya digunakan oleh Israel sebagai sumber dana untuk berperang di Gaza, Palestina.
"Ini waktunya untuk kasih lihat ke mereka bahwa konsumen seperti kami juga bisa memberikan pengaruh." ujarnya.
Marsya, 28 tahun, juga sudah hampir dua bulan ini tidak memesan makanan dari restoran-restoran cepat saji yang masuk dalam daftar BDS Movement. Alih-alih memesan MCD dan KFC yang kerap dia lakukan minmal satu kali dalam satu bulan, ia kini memesan produk ayam goreng lokal, Ayam Forever.
"Sekarang lebih sering pesan dari restoran-restoran lokal. Sudah enggak sama sekali jajan dari restoran yang masuk daftar boikot," ujar Marsya.
Tak hanya makanan cepat saji, Marsya dan keluarga juga memboikot produk-produk konsumsi yang cepat habis atau Fast Moving Consumer Goods (FMCG) yang diproduksi Unilever, seperti sabun, shampo, detergen, dan sebagainya. "Itu diganti dengan produk-produk lain, ada beberapa yang lokal. Jadi konsumsi sebenernya sama saja, hanya diganti," ujarnya.
Hal yang sama juga dilakukan Suci, 35 tahun. Ia tak lagi membeli produk-produk dari Unilever meski tak membuang barang-barang yang sudah terlanjur dibeli. "Barang-barang yang sudah dibeli tetap dipakai karena kan produknya enggak haram. Tapi selanjutnya, jadi subtitusi barang yang diboikot," ujarnya.
Suci merasa cukup tertekan melihat banyaknya korban anak-anak di Palestina yang terpampang di media sosial. Boikot dan donasi hanya lah tindakan kecil yang dapat ia lakukan sebagai bentuk dukungan kepada para korban.
"Karena kita enggak mungkin langsung ke Palestina. Maka yang bisa dilakukan, hanya berdoa, berdonasi, dan boikot," ujarnya.