Ombudsman Ungkap Penyebab Banyak Pembangkit Listrik Sampah Mangkrak
Ombudsman RI membeberkan penyebab sejumlah proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) belum berjalan sebagaimana harapan pemerintah. Lembaga ini menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Anggota Ombudsman RI Hery Sutanto mencatat, pemerintah sejauh ini hanya memprioritaskan empat dari 12 proyek PLTSa tahun ini. Namun, hanya ada dua PLTSa yang sudah dapat beroperasi secara penuh, yakni PLTSa Solo dan PLTSa Surabaya.
"Pemerintah harus merevisi Perpres No. 35 Tahun 2018, terutama terkait patokan harga listrik PLTSa yang dinilai masih terlalu rendah, sehingga tidak kompetitif dengan PLTU Batu Bara," kata Hery dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (29/12).
Perpres No. 35 Tahun 2018 mengatur tarif pembelian listriknya turun menjadi US$ 13,35 sen per kilowatt hour. Hingga akhir 2019, PLN tidak melakukan realisasi pembelian listrik tersebut.
Hery mengatakan, kemampuan finansial daerah menjadi salah satu hambatan proyek PLTSa. Ia mencontohkan, proyek PLTSa Sunter di DKI Jakarta yang mangkrak lantaran sudah tidak ekonomis untuk dibangun.
Menurut dia, PLTSa Sunter tidak dapat dilanjutkan lantaran nilai investasi yang tinggi. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengalokasikan anggaran untuk membayar Biaya Layanan Pengelolaan Sampah atau tipping fee sekitar Rp 476 miliar per tahun.
Selain itu, biaya investasi PLTSa Sunter ditaksir mencapai Rp 5,2 triliun dengan Biaya Layanan Pengolahan Sampah Rp 585.963 per ton. PLTSa Sunter dapat menyerap sampah antara 2.000 sampai 3.000 ton per hari.
Oleh karena itu, Hery mendorong pemerintah untuk mengevaluasi 12 daerah yang menjadi prioritas pembangunan PLTSa. Sejauh ini, 12 daerah tersebut adalah DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
"Pemerintah perlu membuka peluang apabila ada daerah lain yang memiliki kemampuan untuk melakukan percepatan pembangunan PLTSa di luar 12 daerah tersebut," ujarnya.
Hery mencatat saat ini hanya ada satu PLTSa yang berjalan baik, yakni PLTSa Solo. Menurutnya, pembangkit di Solo berhasil lantaran dibangun untuk keperluan komersial, sedangkan PLTSa lainnya dibangun untuk keperluan proyek percobaan.
Ia mengatakan PLTSa lain memiliki perbedaan tipping fee yang harus ditanggung pemerintah daerah cukup tinggi. "PLTSa Solo tidak membebankan tipping fee kepada pemerintah daerah, sedangkan PLTSa Sunter membebankan tipping fee Rp 476 miliar per tahun," katanya.