Produsen Prediksi Konflik Iran-Israel Akan Buat Harga Gula Mahal
Asosiasi Gula Indonesia atau AGI menyatakan harga gula di dalam negeri akan naik akibat konflik Iran-Israel. Hal tersebut diperburuk dengan pelemahan rupiah yang dimulai setelah Lebaran 2024.
Tenaga Ahli AGI Yadi Yusriadi mengatakan konflik Iran-Israel telah menggenjot biaya logistik sebesar 10%. Sebab, konflik tersebut memicu naiknya harga minyak bumi dan biaya premi asuransi barang ekspor-impor.
"Harga gula di negara produsen tidak berubah, tapi biaya pengiriman karena proses pengapalan jadi lebih beresiko," kata Yadi kepada Katadata.co.id, Jumat (19/4).
Konflik antara Iran dan Israel telah mengganggu kegiatan Selat Hormuz di Semenanjung Arab. Selat tersebut merupakan akses utama menuju Terusan Suez dan dilalui seperlima total produksi minyak bumi dunia setiap tahun.
Gangguan di Selat Hormuz dinilai akan berdampak langsung pada harga minyak bumi dunia. Yadi menyampaikan peningkatan harga minyak bumi dapat menjadi katalis bagi negara produsen gula untuk meningkatkan produksi Bioetanol.
Badan Pusat Statistik mendata mayoritas atau 94,39% volume gula impor di dalam negeri tahun lalu berasal dari Brasil dan Thailand. Pada saat yang sama, Statista mendata Brasil menjadi produsen Bioetanol kedua terbesar dunia atau hingga 8,26 miliar galon pada 2023, sedangkan Thailand tercatat memproduksi 370 juta galon.
"Sekarang ini harga gula mentah internasional masih sekitar US$ 20 sen per pon. Kemungkinan harga itu nanti akan naik karena konflik Iran-Israel akan mendorong harga minyak bumi tambah tinggi lagi," ujarnya.
Yadi menilai kondisi tersebut diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah menembus Rp 16.000 per Dolar Amerika Serikat. Bank Indonesia mendata nilai tukar rupiah telah mencapai Rp 16.280 hari ini, Jumat (19/4).
Relaksasi Harga Acuan Gula
Di sisi lain pemerintah telah melakukan relaksasi dengan menaikkan Harga Acuan Pemerintah atau HAP gula konsumsi. Ia menilai relaksasi itu dilakukan di saat tepat. Sebab, konflik Iran-Israel dan pelemahan rupiah dinilai dapat membuat harga Gula Kristal Rafinasi atau GKR sama dengan harga Gula Kristal Putih atau GKP.
Yadi menyampaikan harga GKR saat ini adalah sekitar Rp 16.500 per kilogram. Angka tersebut telah lebih tinggi dari HAP gula konsumsi atau GKP senilai Rp 16.000 per kg pada bulan lalu.
Sementara itu, Badan Pangan Nasional mendata rata-rata nasional harga gula konsumsi telah mencapai Rp 18.060 per kg hari ini, Jumat (19/4). Bapanas pun telah meningkatkan HAP GKP menjadi Rp 17.500 per kg.
"Itu mengeliminasi kemungkinan industri makanan tingkat UMKM untuk menggunakan GKP dan tetap menggunakan GKR," katanya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengkonfirmasi bahwa harga GKR saat ini telah tumbuh menjadi lebih dari Rp 16.000 per kg. Walau demikian, Isy belum dapat memastikan apakah minimnya stok gula di pasar disebabkan oleh peningkatan penyerapan gula konsumsi oleh sektor usaha.
"Sekarang ada rapat yang membahas hal ini karena ada laporan kelangkaan," kata Isy di Kompleks Kemendag, Jumat (19/4).
Maka dari itu, Isy berharap relaksasi HAP gula dapat menggenjot realisasi impor gula. Namun Isy pesimistis realisasi gula impor dapat melonjak lantaran musim penggilingan gula akan dimulai bulan depan.
Berdasarkan paparan Bapanas, kuota impor gula yang disetujui pemerintah tahun ini adalah 708.609 ton. Angka tersebut setara dengan 24,15% dari total kebutuhan gula konsumsi tahun ini yang mencapai 2,93 juta ton.
Walau demikian, Isy mencatat stok gula konsumsi di dalam negeri masih cukup hingga bulan depan atau hingga 330.000 ton. "Artinya, stok gula konsumsi di dalam negeri cukup untuk satu setengah sampai dua bulan," katanya.