PHK Massal Industri Tekstil, Menaker Ramal Badai PHK Belum akan Usai
Sebanyak enam pabrik tekstil dikabarkan tutup dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau PHK ribuan pekerja. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memperkirakan, sektor industri yang terdampak oleh pelemahan permintaan global masih rawan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK.
Ia menjelaskan, permintaan global belum sepenuhnya membaik setelah pandemi Covid-19. Kondisi ini diperburuk oleh tekanan geopolitik di Timur Tengah antara Palestina dan Israel.
"Akhirnya pabrikan mengurangi volume produksinya. Kondisi seperti itu kami berikan kelonggaran dan carikan jalan keluarnya," kata Ida di Gedung DPR, Kamis (13/6).
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemenaker Indah Anggoro Putri mencontohkan, kelonggaran yang dimaksud adalah mengizinkan pabrikan tekstil untuk menghilangkan layanan lembur. Menurutnya, hal tersebut sejalan dengan menurunnya permintaan tekstil di pasar global.
Indah berhasil mengubah rencana pabrik tekstil raksasa di Jawa Tengah untuk melakukan PHK massal. Perusahaan yang dimaksud adalah salah satu dari tiga pabrik tekstil besar di Jawa Tengah.
Berdasarkan catatan Katadata, tiga pabrik tekstil terbesar di dalam negeri berlokasi di Jawa Tengah, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk atu Sritex, PT Duniatex, dan PT Pan Brothers Tbk. Namun Indah tidak menjelaskan lebih lanjut pabrik tekstil raksasa mana yang akan melakukan PHK.
Indah mengaku telah merekomendasikan langkah yang sama ke seluruh pabrikan tekstil di dalam negeri. Menurutnya, penurunan biaya tenaga kerja harus dilakukan secara merata, mulai dari operator di tingkat terendah sampai level manajemen.
"Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi pemborosan biaya tenaga kerja. Kami sarankan langkah tersebut daripada terjadi PHK massal," ujarnya.
Indah menyampaikan alasan pengajuan PHK oleh pabrik tekstil raksasa asal Jateng adalah penurunan permintaan di pasar ekspor. Indah mencatat setidaknya ada tiga akar pengajuan PHK tersebut dilayangkan.
Pertama, kondisi perekonomian global yang belum membaik akibat tensi geopolitik. Indah menyoroti lemahnya permintaan tekstil yang disebabkan oleh konflik Israel dan Palestina yang dimulai tahun lalu.
Kedua, persaingan industri tekstil di pasar lokal yang ketat. Ketiga, perubahan gaya hidup konsumen. Indah menyampaikan bergesernya pembelian tekstil ke lokapasar membuat proses logistik produk tekstil dari produsen ke konsumen berubah.
Pabrikan tekstil di Jawa Tengah masih menggunakan jalur distribusi konvensional. Alhasil, pabrikan tidak memanfaatkan jalur distribusi tersebut layanan mayoritas produk tekstil kini dijual secara daring.
"Akhirnya pabrikan merugi karena ada biaya-biaya produksi dan distribusi yang tidak terpakai tapi sudah kadung kontrak," katanya.