Pemerintah akan Terapkan SNI Tekan Konsumsi Gula, Cukai MBDK Batal?
Rencana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan kemungkinan batal diterapkan pada tahun ini. Kementerian Perindustrian menyebut, akan menggunakan aturan Standar Nasional Indonesia atau SNI untuk membatasi konsumsi gula masyarakat dari sisi industri.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, pemerintah memiliki mengambil langkah pengendalian konsumsi gula dengan menerapkan SNI. Pengendalian konsumsi gula menggunakan SNI dari sisi industri, menurut dia, telah diputuskan dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan.
"Kami khawatir cukai MBDK itu tidak seefektif SNI. Kami akan menindaklanjuti regulasi ini dengan penerbitan SNI pengendalian konsumsi gula dari sisi industri kalau sudah ditetapkan," kata Putu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Senin (1/7).
Kementerian Perindustrian memang memiliki sikap berbeda, yakni tak setuju dengan pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK yang ingin diberlakukan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Namun, Putu menekankan visi Kementerian Perindustrian tetap sama, yakni melindungi masyarakat dari penyakit tidak menular.
Kementerian Keuangan sebelumnya mengusulkan, nilai cukai MBDK Rp 1.771 per liter. Angka tersebut didapatkan setelah menghitung rata-rata negara anggota ASEAN yang telah menerapkan cukai MBDK.
Adapun negara yang telah menerapkan cukai MBDK adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Laos. Nilai cukai MBDK tertinggi diterapkan di Brunei Darussalam senilai Rp 4.538 per liter, sedangkan terendah ditemukan di Laos senilai Rp 247 per liter.
Cukai MBDK tidak akan diterapkan pada MBDK yang mengandung gula tanpa Bahan Tambahan Pangan pemanis dengan kadar maksimal 6 gram per 100 mililiter. Sementara itu, semua MBDK dengna Bahan Tambahan Pangan pemanis akan dikenakan cukai MBDK.
Putu menilai, langkah tersebut akan membuat iklim industri buruk lantaran kebijakan cukai umumnya membuat industriwan khawatir. Menurutnya, SNI menjadi strategi yang baik lantaran telah menjadi syarat produksi bagi sektor manufaktur domestik.
Ia berargumen pihaknya telah berpengalaman dalam mengendalikan bahan pangan melalui SNI, seperti penggunaan fortifikan dalam tepung terigu. Selain itu, Putu menyampaikan pabrikan aturan SNI akan lebih tegas.
Putu mengatakan, SNI memiliki sanksi pidana bagi pabrik yang melanggar, yakni penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp 30 miliar. Putu menekankan penerbitan SNI akan lebih sesuai untuk mengendalikan gula di sektor manufaktur.
"Kalau SNI aturannya jelas karena sesuai dengan konsensus industri dan pemerintah, selain itu sanksinya pidana," katanya.