Efisiensi Anggaran Terasa dari Awal Tahun, Tidak Ada Acara Pemerintah di Hotel


Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan sejak Januari 2025 jajaran pemerintah sudah tidak lagi menggelar acara apapun di hotel. Dia menyebut hal ini telah terjadi di kota-kota besar Indonesia.
“Sekarang sudah tidak ada kegiatan sama sekali, nol. Kalau akhir tahun kemarin masih ada karena sisa anggaran,” kata Hariyadi saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (13/2).
Kondisi ini sudah terjadi sebelum Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi anggaran. “Sudah tidak ada bookingan dari pemerintah. Kalau ada, itu kecil-kecil di daerah,” ujarnya.
Prabowo menargetkan total penghematan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun, dengan rincian penghematan anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun serta penghematan transfer ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun.
Hariyadi mengatakan meskipun efisiensi anggaran mayoritas ditujukan untuk pemerintah pusat, namun tetap saja berdampak bagi pemerintah daerah. “Mereka kan meeting-nya kebanyakan dianggarkan dari pusat,” ucapnya.
PHRI telah mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan tapi belum mendapat respon. Usul asosiasi tersebut semua penawaran dari jasa akomodasi dan ruang rapat dimasukkan dalam katolog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan didigitalkan. "Ini untuk memaksimalkan pengelolaan anggaran," kata Haryadi.
Potensi Kerugian Rp 24 triliun
Hariyadi mengatakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah akan berdampak signifikan bagi sektor hotel dan restoran di Indonesia. Berdasarkan hitungannya, dampak pemotongan anggaran menimbulkan potensi kerugian hingga Rp 24,8 triliun per tahun.
Angka tersebut terdiri dari akomodasi dan keperluan rapat atau pertemuan. “Jadi, hitungan kami, akomodasi saja potensinya bisa hilang Rp 16,538 triliun. Untuk meeting kira-kira Rp 8,26 triliun,” kata Hariyadi.
Nilai potensi kerugian tersebut setara dengan 40% okupansi hotel secara nasional dan 70% pangsa pasar pemerintah di daerah. “Jadi dampaknya akan signifikan dan sangat terasa,” ujarnya.
Dia menyebut, potensi kerugian hotel dan restoran ini juga akan mempengaruhi pendapatan asli daerah. Sebab, hotel memiliki mata rantai yang cukup panjang, mencakup pertanian, peternakan, sampai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Karena pajak hotel dan restoran itu kami selalu menduduki peringkat lima besar. Bahkan ada daerah yang peringkat tiga besar,” ucapnya.
Selain itu, efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah juga bisa mengakibatkan adanya pemutusan hubungan kerja karyawan dalam jangka panjang. Meskipun hingga saat ini, hal tersebut belum terjadi.
“Kalau berkelanjutan sudah pasti dilakukan (PHK),” kata dia. Dalam situasi ini, hotel berada dalam posisi bertahan untuk kelangsungan operasinya.