KSPI: Pemerintah Gagal Awasi Kepatuhan THR untuk Buruh Sritex dan Driver Ojol


Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI melaporkan bekas buruh PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex tidak mendapatkan tunjangan hari raya hingga hari ini. Padahal, pemerintah menetapkan setiap perusahaan wajib membayarkan THR selambatnya akhir pekan lalu.
Salah satu federasi KSPI, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia telah menyatakan telah menerima pengaduan buruh bekas Sritex yang tidak mendapatkan THR dan hak-hak lainnya. Namun, organisasi ini tidak merinci lebih lanjut terkait jumlah pengaduan, jenis pengaduan, maupun nilai kewajiban yang seharusnya dibayarkan oleh manajemen Sritex.
"Banyak bekas buruh Sritex mengadu ke posko tidak menerima THR atau hak-hak lainnya. Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak buruh yang kami tidak akan biarkan," kata Sekretaris FSPMI Jawa Tengah, Lukman Nur Hakim, dalam keterangan resmi, Kamis (27/3).
Serikat Pekerja Sritex memperkirakan total pesangon yang menjadi kewajiban perusahaan mencapai Rp 30 miliar, karena banyak karyawan yang telah bekerja dalam jangka waktu lama. Tim kurator pailit perusahaan berencana menjadikan pembayaran THR dan pelunasan pesangon sebagai bagian dari tagihan kepada manajemen Sritex bersama hak kreditur preferen.
Langkah yang diambil Tim Kurator Sritex bertentangan dengan Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04.00/III/2025 yang mengatur teknis pembayaran THR Lebaran 2025. Beleid tersebut menetapkan perusahaan tidak boleh menunda maupun mencicil THR Lebaran 2025.
Presiden KSPI Said Iqbal menilai tidak terbayarnya THR bekas buruh Sritex merupakan bukti nyata kegagalan negara dalam menjalankan fungsi pengawasan. Adapun Said menyoroti minimnya kekuatan pemerintah untuk memastikan kebijakan dijalankan oleh pemilik perusahaan.
Aplikator Persulit BHR
Said juga menyorot perusahaan aplikator yang mempersulit pengemudi ojek daring mendapatkan bonus hari raya atau BHR. Ia menemukan banyak pengemudi ojek daring tidak mendapatkan BHR sama sekali.
Sebagian besar laporan pengemudi ojek juga menunjukkan rendahnya nilai BHR yang diterima atau hanya Rp 50 ribu per orang. Said mengatakan BHR yang diterima pengemudi ojek daring tidak mencukup kebutuhan Lebaran 2025.
Pengurus Serikat Pekerja Digital dan Transportasi Rusli mengatakan banyak pengemudi ojek daring yang bermitra dengan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk tidak mendapatkan BHR. Menurut dia, hal tersebut juga dialami oleh pengemudi ojek daring yang telah bergabung dengan Gojek sejak 2016.
Sebelumnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan menyatakan perusahaan aplikator memiliki lima kategori dalam pemberian BHR. Mitra yang hanya menerima Rp 50 ribu termasuk dalam kategori empat dan lima, yang dianggap tidak aktif sebagai mitra.
"Mitra dalam kategori tersebut sebenarnya tidak berhak menerima BHR. Namun, kami mengimbau perusahaan aplikator tetap memberikan BHR sebagai bentuk tanggung jawab moral," kata Immanuel.
Ia juga menjelaskan bahwa hanya PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk dan PT Grab Teknologi Indonesia yang menerapkan sistem kategorisasi dalam pemberian BHR. Perusahaan lain seperti PT Teknologi Perdana Indonesia (Maxim) dan InDrive memiliki kebijakan yang berbeda.
Sebagai contoh, Maxim memberikan BHR minimal Rp 500 ribu per mitra, sedangkan InDrive menetapkan nilai BHR ke semua mitranya sama atau senilai Rp 450 ribu per orang.
"Ini harus ada keseimbangan opini. Jangan sampai satu pihak marah-marah, tapi ternyata ada ketentuan lain yang menjadi kalkulasi aplikator," kata Immanuel.