Industri Serat dan Benang Filamen Duga Ada Mafia Kuota Impor Tekstil

Andi M. Arief
19 Agustus 2025, 18:07
Pekerja menyelesaikan produksi pakaian di kawasan Sentra Industri Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/6/2025). Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) mendorong pemerintah untuk menetapkan bea masuk anti-dumping (BMAD)
ANTARA FOTO/Novrian Arbi/YU
Pekerja menyelesaikan produksi pakaian di kawasan Sentra Industri Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/6/2025). Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) mendorong pemerintah untuk menetapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) sebesar 20% terhadap produk benang filamen impor untuk mengatasi dampak dari praktik dumping, sehingga kembali menguatkan daya saing dan kapasitas produksi industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia atau APSyFI menduga adanya kegiatan mafia kuota impor tekstil pada tahun ini. Hal tersebut tercermin dari hilangnya perhitungan kondisi industri dalam negeri oleh Badan Pusat Statistik dan arah kebijakan Kementerian Perdagangan.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, mengaku dugaan tersebut muncul setelah Kemendag menolak usulan Bea Masuk Anti Dumping untuk benang filamen. Untuk diketahui, Komite Anti Dumping Indonesia merekomendasikan tarif BMAD sebesar 5,12% sampai 42,3% pada dua jenis filamen, yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY) asal Cina.

"Dengan posisi Kemendag yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk Benang Filament sepertinya mafia kuota impor itu memang ada” kata Aqil dalam keterangan resmi, Selasa (19/8).

Selain itu, Aqil mencatat neraca perdagangan industri TPT telah susut dari US$ 3,6 miliar pada 2016 menjadi US$ 2,4 miliar pada tahun lalu. Dari sisi volume, neraca perdagangan TPT telah di zona merah sejak 2017 sejumlah 57.000 ton sampai saat ini.

Aqil mengatakan defisit volume neraca perdagangan TPT memburuk dengan pertumbuhan impor TPT yang lebih tinggi daripada ekspor TPT. Menurutnya, hal tersebut telah menyebabkan kontribusi industri TPT ke perekonomian nasional hanya 0,99% pada tahun lalu.

Di sisi lain, Aqil mengakui industri TPT mengalami pertumbuhan sebesar 4,35% secara tahunan pada kuartal kedua tahun ini. Namun Aqil menekankan pertumbuhan tersebut utamanya didorong oleh investasi baru.

Aqil menyampaikan investasi eksisting saat ini cenderung mangkrak dengan tumbuhnya volume impor TPT yang legal dan ilegal. Menurutnya, hilangnya perhitungan tersebut membuat kondisi industri TPT nasional tampak baik-baik saja.

"BPS tidak menghitung importasi ilegal yang seharusnya menjadi pengurangan dalam perhitungan PDB. Selain itu, investasi yang berhenti tidak dihitung sebagai pengurang," katanya.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso memutuskan untuk tidak meneruskan rekomendasi pengenaan BMAD pada POY dan DTY pada Juni 2025. Budi menilai pengenaan tarif ini justru akan meningkatkan biaya produksi sektor hilir, terutama industri garmen nasional.

POY dan DTY merupakan hasil pemrosesan polyester yang digunakan sebagai bahan baku benang, sebelum akhirnya diolah menjadi kain dan produk garmen. Menurut Budi, industri hulu tekstil nasional belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan sektor hilir. Sebab, sebagian produsen tidak melepas produksi mereka ke pasar terbuka, melainkan digunakan secara internal.

“Pemerintah berkomitmen menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan kebutuhan akan bahan baku yang kompetitif bagi sektor hilir, demi menjaga kelangsungan dan daya saing industri nasional secara menyeluruh,” kata Budi dalam pernyataan resmi, Kamis (19/6).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...