6 Juta Keluarga Miskin Esktrem Huni Rumah Tak Layak dan Bukan Milik Sendiri
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah mengungkapkan masih terdapat 6 juta keluarga miskin ekstrem yang tinggal di rumah tidak layak huni sekaligus bukan miliknya sendiri.
Data ini muncul setelah Fahri mengubah pengelompokan kebutuhan atau backlog rumah menjadi tiga kategori yaitu kualitas, kuantitas, dan gabungan keduanya. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) hanya membagi backlog ke dalam dua kelompok, yakni kebutuhan rumah baru dan renovasi rumah.
“BPS hanya mengelompokkan data kebutuhan rumah ke dalam dua kategori, yakni tidak punya rumah dan rumah tidak layak huni. Ternyata, kami menemukan kategori ketiga, yakni masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak, namun rumah itu bukan miliknya sendiri,” kata Fahri dalam Peluncuran Kebijakan Perkotaan Nasional, Senin (15/9).
BPS mencatat backlog pendirian rumah mencapai 9,9 juta unit, sedangkan jumlah rumah tidak layak huni yang membutuhkan renovasi sekitar 26 juta unit. Dari dua kelompok itu, pemerintah kemudian menemukan irisan baru yang menggambarkan kondisi 6 juta keluarga miskin ekstrem.
Fahri menilai penyelesaian masalah perumahan masih menghadapi dua tantangan besar, yakni definisi dan data. Regulasi saat ini hanya mengenal dua jenis rumah, yakni rumah tapak dan rumah susun. Akibatnya, pemerintah belum bisa membangun rumah apung maupun rumah di kawasan pesisir.
Selain itu, ia menilai data rinci terkait kebutuhan rumah juga masih terpecah di banyak kementerian dan lembaga. “Kita harus sinkronisasi semua data saat membicarakan data backlog perumahan. Sekali lagi, pendataan kebutuhan perumahan membutuhkan integrasi data di semua kementerian dan lembaga yang ada,” ujarnya.
Fahri juga mengaku pihaknya belum menghasilkan pencapaian signifikan pada tahun ini. Ia bahkan menyampaikan permintaan maaf kepada Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, karena Kementerian PKP lebih banyak mengerjakan hal di luar target utama, seperti rumah melalui dana CSR maupun penyaluran rumah bersubsidi.
“Kami tampak sibuk mengurus rumah dari dana CSR dan segala macam, padahal itu bukan key performance index (KPI) kami. Harusnya kami fokus kepada KPI kami, sebab itu ada dalam mandat peraturan presiden pembentukan kementerian ini,” kata Fahri.
