Marak Kasus Keracunan, FKBI Desak Pemerintah Hentikan Sementara Program MBG

Andi M. Arief
22 September 2025, 11:19
MBG
ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nym.
Keluarga penerima manfaat memperlihatkan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di Posyandu Kenanga, Desa Utama, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (1/9/2025). Pemerintah memulai program MBG khusus untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita melalui posyandu, untuk memperoleh asupan makanan sehat dan bergizi seimbang sebagai strategi efektif untuk mendekatkan layanan gizi kepada masyarakat.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menuntut pemerintah menghentikan sementara atau melakukan moratorium terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) pasca maraknya kasus gejala keracunan. FKBI juga meminta pemerintah memberikan ganti rugi kepada konsumen yang terdampak.

Ketua FKBI Tulus Abadi mencatat jumlah kasus gejala keracunan dalam program MBG telah mencapai 4.000 konsumen pada periode Januari–September 2025. Menurutnya, moratorium program MBG menjadi langkah mendesak agar pemerintah dapat memastikan kasus serupa tidak terulang.

“Permintaan maaf tidak dapat menjadi akhir dari tanggung jawab negara. Kami menuntut langkah konkret, sistemik, dan partisipatif untuk memastikan tragedi ini tidak terulang,” kata Tulus dalam keterangan resmi, Senin (22/9).

Tulus menilai tingginya angka keracunan memicu kekhawatiran serius di masyarakat. Ia menilai kondisi tersebut menunjukkan lemahnya tata kelola, pengawasan, dan transparansi pemerintah dalam memenuhi hak anak sebagai konsumen.

Lebih lanjut, Tulus menemukan setidaknya tiga aspek yang mengkhawatirkan dalam pelaksanaan program MBG di lapangan. Pertama, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak memenuhi standar kebersihan minimum.

Hal ini terlihat dari proses penyiapan makanan yang dilakukan langsung di atas lantai. Tulus juga menemukan beberapa dapur SPPG tidak memiliki alat penangkal serangga, sementara jeda distribusi makanan ke sekolah terlalu panjang.

Kedua, minimnya data publik mengenai pelaksana program MBG. Tulus menilai masyarakat berhak mengetahui informasi mengenai vendor MBG, hasil audit dapur, dan uji laboratorium makanan. “Bahkan ada dugaan 5.000 dapur SPPG adalah fiktif,” ujarnya.

Ketiga, mekanisme pelaporan insiden dan pemulihan korban tidak terstruktur. Menurut Tulus, proses pelaporan program ini tidak inklusif dan tidak melibatkan komunitas sekolah.

Akibatnya, ia menilai program MBG saat ini telah melanggar hak konsumen anak. Para siswa peserta MBG rentan kehilangan perlindungan atas hak dasar mereka, termasuk keamanan, informasi, dan kompensasi.

“Selain itu, program MBG tidak memiliki skema ganti rugi atau dukungan psikososial bagi korban dan keluarga mereka,” ujarnya.

Atas dasar itu, FKBI menyampaikan 5 tuntutan terkait program MBG kepada pemerintah, yakni

  1. Audit Publik dan Publikasi Vendor MBG.  FKBI meminta agar seluruh penyedia makanan MBG diaudit secara independen dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka
  2. Skema Ganti Rugi dan Pemulihan Korban. Pemerintah wajib menyediakan kompensasi medis, psikologis, dan hukum bagi siswa terdampak dan keluarganya.
  3. Reformasi Tata Kelola Program MBG. Libatkan komunitas sekolah, organisasi orang tua, dan lembaga perlindungan anak dalam pengawasan partisipatif.
  4. Terapkan sistem pelaporan berbasis komunitas dan early warning system untuk deteksi dini dan respons cepat.
  5. Penyusunan SOP Terbuka dan Partisipatif Evaluasi Model Distribusi. Pertimbangkan opsi desentralisasi penyediaan makanan melalui kantin sekolah atau pemberian dana langsung kepada orang tua.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...