Kementerian ESDM: Harga CPO Jadi Penentu Keberlanjutan Program B50
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menyatakan penentuan cakupan kewajiban program B50 akan memperhatikan harga minyak sawit mentah. Hal tersebut dinilai penting agar pemerintah dapat menjaga keberlanjutan program biodiesel nasional.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan peningkatan campuran CPO dari 35% menjadi 40% dalam solar, mengakibatkan selisih harga CPO dan solar semakin tinggi. Pada 2023, selisih harga CPO dan solar Rp 900 per liter, dan semakin melebar menjadi Rp 3.000 pada 2024.
Untuk diketahui, pemerintah berkomitmen menutupi selisih harga tersebut melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan agar dapat dijangkau masyarakat. Eniya mencatat selisih harga CPO dan solar sempat mencapai Rp 6.200 per liter saat pemerintah mengumumkan rencana program B50.
"Kalau selisih antara harga CPO dan harga solar makin tinggi, dana yang dikelola BPDP bisa kebobolan karena pembengkakan biaya. Karena itu, kami akan memperhitungkan selisih ini dalam menjalankan program B50," kata Eniya dalam Indonesia Palm Oil Conference 2025, Kamis (13/11).
Karena itu, Eniya mengatakan pemerintah tidak akan menjalankan program B50 jika harga CPO terlalu tinggi. Dia berharap agar harga CPO internasional tetap tumbuh pada masa depan.
Eniya menjelaskan sumber dana BPDP untuk menutupi selisih harga CPO dan solar adalah pungutan ekspor CPO. Pada saat yang sama, Eniya berharap agar harga CPO di dalam negeri bisa perlahan susut, tapi tetap menguntungkan bagi petani.
Sebelumya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman memastikan implementasi program kewajiban atau mandatory B50 tidak akan mengganggu stabilitas program biodiesel di dalam negeri. Justru program ini akan mendongkrak performa ekspor yang akhirnya menjaga nilai subsidi biodiesel di dalam negeri.
Program mandatory B50 tahun depan rencananya menyerap 5,3 juta ton minyak sawit mentah dari pasar ekspor untuk digunakan di dalam negeri. "Saat pasokan global berkurang, harga CPO (minyak sawit mentah) akan naik yang bisa menambah devisa antara 20% sampai 30%," kata Amran di kantornya, Jakarta, Jumat (7/11).
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat total konsumsi CPO pada 2024 mencapai 23,8 juta ton, sedangkan volume ekspornya 29,53 juta ton. Konsumsi untuk industri biodiesel mencapai 11,44 juta ton, lebih tinggi dari kebutuhan industri pangan sebesar 10,2 juta ton.
Gapki memperkirakan serapan CPO tahun ini akan meningkat menjadi 13,44 juta ton akibat program B40. Kementerian Pertanian memperkirakan program B50 akan menambah kebutuhan industri biodiesel sebanyak 5,3 juta ton, sehingga konsumsi CPO untuk biodiesel mencapai 18,44 juta ton pada 2026.
Dengan produksi CPO yang diproyeksikan tetap stagnan sekitar 48 juta ton, konsumsi domestik diperkirakan akan lebih tinggi dari volume ekspor, yaitu sekitar 30 juta ton.
"Saya kira performa ekspor masih dapat meyeimbangi kebutuhan penutupan selisih harga CPO dan solar dalam mandatory B50 nantinya. Sebab, harga CPO pernah naik dua kali lipat," kata Amran.
