Studi ESI: Ketimbang EV, Industri Baja Tahan Karat Lebih Mampu Serap Nikel
Laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) menyatakan industri kendaraan listrik dan baterai akan kesulitan menyerap lebih dari 1% dari total produksi nikel Indonesia. Industri diperkirakan kesulitan menyerap nikel meski dalam skenario pengembangan paling maksimal.
Sebaliknya, industri terkait metalurgi yang mencakup barang konsumsi hingga industri berat termasuk konstruksi dan transportasi, dapat menyerap hingga 60% dari hasil tambang nikel.
“Meski kurang glamor dibandingkan EV dan baterai, manufaktur lokal berskala kecil yang berpusat pada stainless steel memiliki potensi pertumbuhan yang lebih besar karena melayani beragam sektor,” ujar Ahmad Zuhdi, Associate Principal Energy Shift dikutip dari pernyataan resmi, Kamis (27/11).
Zuhdi mengatakan, pemerintah mencampuradukkan penambangan dan pengolahan nikel dengan produksi barang konsumsi yang kompleks, yaitu EV. Pada awal tahun ini, pemerintah melempar gagasan untuk membatasi produsen EV menggunakan baterai non-nikel lithium-iron-phosphate (LFP).
Padahal, kata, Zuhdi, baterai LFP mendominasi produksi dan penjualan EV di Indonesia dan pasar Asia. Bahkan menurutnya, hampir separuh EV yang dijual di seluruh dunia pada 2024 menggunakan baterai tersebut.
“Dalam praktiknya, melabeli EV sebagai produk hilir nikel adalah penyederhanaan yang berlebihan,” kata Ahmad Z
Menurutnya, mobil adalah barang konsumsi yang sangat kompleks, yang produksinya melibatkan ribuan suku cadang melalui banyak tahapan dan puluhan negara. Nikel sulfat yang terkandung dalam baterai lithium-ion hanya memakan porsi 2% dari biaya manufaktur EV.
Kendala struktural juga membayangi kemampuan industri EV menyerap nikel Indonesia. Data global menunjukkan, 97% mobil dirakit di wilayah tempat mereka dijual, sehingga membatasi potensi ekspor EV Indonesia secara signifikan.
“Terdapat batasan pasar yang berarti kecil kemungkinannya Indonesia dapat mengonversi lebih dari beberapa persen nikelnya menjadi EV atau baterai EV," katanya.
Di sisi lain, selain mampu menyerap nikel lebih banyak, 95% stainless steel dapat didaur ulang. Angka ini jauh meninggalkan tingkat daur ulang baterai nikel lithium-ion yang hanya mencapai 5%.
Mengacu temuan ini, Energy Shift mendorong pemerintah menggarap hilirisasi nikel yang mengarah pada sektor metalurgi. Apalagi, Indonesia sudah memiliki keunggulan dan kompetensi dari industri terkait.
“Indonesia dapat menciptakan peluang keberlanjutan tersendiri dengan mengembangkan merek-merek lokal yang menyasar konsumen, baik domestik maupun global," katanya.
Dia juga menyarankan agar kebijakan industri membantu penbgemabngan ekosistem usaha kecil dan menengah (UKM) lokal. "Pemerintah dapat mempertajam keunggulan tersebut dengan menawarkan produk yang memiliki ketelusuran dan kredibilitas hijau yang lebih baik,” katanya.
