Benarkah Sawit Jadi Penyebab Banjir Sumatera?

Andi M. Arief
9 Desember 2025, 14:18
Kebun kelapa sawit tergenang sisa banjir bandang terlihat dari Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025).
ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/nz
Kebun kelapa sawit tergenang sisa banjir bandang terlihat dari Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memunculkan kembali perdebatan mengenai apakah perkebunan sawit berperan dalam memperparah bencana? Industri sawit membantah keras, sementara pemerintah dan pegiat lingkungan melihat adanya indikasi pembukaan lahan di kawasan hulu.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menduga gelondongan kayu yang terbawa banjir dan longsor di sejumlah wilayah berasal dari aktivitas pembukaan lahan sawit.

“Ada indikasi pembukaan-pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log (kayu gelondongan). Karena zero burning, kayu itu tidak dibakar tapi dipinggirkan,” kata Hanif di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12).

Ia menyebut terdapat kejanggalan pada kondisi lahan di hulu yang seharusnya berupa hutan namun berubah menjadi pertanian lahan kering dan basah. Menurutnya, wilayah tersebut sebenarnya tidak seharusnya terdampak parah, sehingga perubahan tutupan lahan perlu ditelusuri.

“Padahal tempatnya di puncak. Begitu terjadi bencana ya seperti ini,” ujarnya. Hanif menambahkan pihaknya kini memfokuskan perhatian ke Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang memiliki bentuk topografi menyerupai huruf “V” sehingga air mudah masuk dan terperangkap. Ia mengatakan akan memanggil delapan perusahaan yang diduga memperparah bencana pada Senin (8/12) mendatang.

“Ini akan terus berkembang. Saat ini baru terdata 7 dari 8 perusahaan. Yang satu belum aktif, tapi tetap akan kami dalami,” katanya.

Menurut Hanif, temuan lapangan menunjukkan area hulu yang seharusnya hutan telah berubah menjadi lahan kering dalam skala sangat luas. “Dari 340.000 hektare, mungkin sekitar 50.000 hektare di hulunya itu lahan kering tanpa pohon. Sehingga hujan sedikit saja sudah bisa seperti ini,” ujarnya.

Pengusaha Bantah Sawit Jadi Penyebab Bencana

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) membantah bahwa perkebunan sawit menjadi penyebab bencana di tiga provinsi tersebut. Mereka menegaskan mayoritas pengusaha kelapa sawit telah memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Salah satu syarat dalam sertifikat ISPO adalah kepatuhan terhadap aturan tata ruang, termasuk larangan membuka lahan di daerah aliran sungai (DAS). Karena itu, pelaku industri sawit mendorong dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait dugaan peran perkebunan sawit dalam bencana di Sumatera.

"Sertifikat ISPO berlaku untuk 5 tahun dan selama periode itu ada pengecekan rutin setiap tahun. Bila ada pelanggaran di kebun, otomatis sertifikat ISPO dicabut," kata Ketua Umum Gapki Eddy Martono kepada Katadata.co.id, Selasa (9/12).

Kementerian Pertanian mencatat 1.211 pelaku usaha telah memiliki ISPO dengan total lahan 7,21 juta hektare hingga Juli 2025. Dari jumlah itu, 1.015 sertifikat ISPO dimiliki perusahaan swasta dengan luas 6,69 juta hektare.

Badan Pusat Statistik mendata ada 430 perusahaan perkebunan kelapa sawit (PKS) di wilayah terdampak bencana, dengan total luas 1,82 juta hektare pada tahun lalu. Sebanyak 103 PKS berada di Aceh dan 327 lainnya beroperasi di Sumatera Utara.

Eddy menambahkan, bencana di Sumatera tidak akan mengganggu produksi minyak sawit mentah (CPO) tahun depan. Banjir dan longsor di Aceh dan Sumut disebut hanya berdampak pada akses kebun menuju pelabuhan.

"Sejauh ini belum ada pabrik kelapa sawit yang berhenti produksi akibat bencana, kecuali pergeseran tangki milik satu PKS di Aceh Tamiang yang kini dalam perbaikan," ujarnya.

 

Petani Sawit Buka Suara

Senada dengan pernyataan Menteri LH, Greenpeace Indonesia menyebut perkebunan sawit berkontribusi pada alih fungsi 94.000 hektare kawasan hutan. Mereka juga menilai perkebunan sawit yang berada di hilir DAS Batang Toru berperan terhadap kayu yang terseret arus sungai.

Namun, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Manurung membantah bahwa kayu yang terseret merupakan hasil program peremajaan kebun (replanting). Ia menegaskan realisasi replanting di Sumatra Utara tahun ini hanya 8% dari target 120.000 hektare.

Gulat juga menjelaskan bahwa pohon sawit hasil replanting akan dicacah sebelum dibenamkan kembali ke kebun, sehingga tidak mungkin muncul dalam bentuk gelondongan. Ia menyarankan pemerintah menggunakan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk memverifikasi argumen Greenpeace.

"Satgas PKH punya reputasi yang tidak perlu diragukan. Kalau ada kebun yang menyalahi aturan tata ruang, cabut saja izinnya," kata Gulat.

Ia menambahkan bahwa perkebunan sawit tidak dapat beroperasi di hulu DAS Batang Toru karena biaya operasional di wilayah perbukitan tidak memiliki keekonomian.

Meski membantah tuduhan terhadap sawit, Gulat mengakui bencana di Sumatra dipicu aktivitas ekstraktif seperti pertambangan dan pembalakan liar. Karena itu, ia meminta Satgas PKH memeriksa Kementerian Kehutanan sebagai pemberi izin penggunaan kawasan hutan.

"Kementerian Kehutanan sudah mengakui ada aktivitas pembalakan liar dari izin yang mereka berikan sendiri," ujarnya.

 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...