Isu-isu Konflik di Muslim Summit dan Kecaman Anggota OKI
Malaysia menyelenggarakan Muslim Summit kelima di Kuala Lumpur, pada 18-21 Desember 2019. Forum yang bertujuan menjadi wadah bagi para pemimpin dan intelektual muslim dari seluruh dunia untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi umat Islam, termasuk tudingan soal terorisme, Islamophobia, dan konflik yang melibatkan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, seperti dilansir kantor berita Bernama, mengatakan Muslim Summit 2019 akan mendiskusikan situasi yang dihadapi oleh muslim di seluruh dunia. "Muslim dilabeli sebagai teroris, dan ada kekhawatiran terhadap Islam. Semua orang bisa melihat dengan jelas bahwa situasinya semakin buruk," kata Mahathir.
Mahathir, yang juga menjabat sebagai Chairman Muslim Summit 2019, menyebut penindasan terhadap umat Islam di dunia seolah tidak mendapat perhatian. "Kita menyebut semua muslim adalah saudara tetapi negara kita terlibat dalam perang sipil yang tak berkesudahan, perang sektarian, perang dengan negara tetangga sesama muslim, dan kita mengundang negara non-muslim untuk membantu kita dalam perang terhadap sesama muslim," kata Mahathir seperti dikutip New Strait Times, Senin (16/12).
Muslim Summit 2019 diikuti 400 partisipan, yang berasal dari 56 negara. Beberapa pemimpin dunia yang menghadiri pertemuan ini adalah Emir Sheikh Tamim Hamad Al Thani dari Qatar, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin sebelumnya juga dijadwalkan hadir dalam pertemuan tersebut. Namun, ia membatalkan rencana perjalanannya karena kelelahan. "Tim dokter berkesimpulan Wapres harus istirahat," kata Juru Bicara Wapres, Masduki Baidlowi seperti dikutip Antara, di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (18/12). Sebagai gantinya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ditugaskan untuk menggantikan Wapres Ma'ruf dalam Muslim Summit tersebut.
(Baca: Pemerintah Diminta Batasi Investasi Tiongkok Terkait Kekerasan Uighur)
Bahas Isu Rohingya hingga Uighur
Dalam konferensi yang berlangsung selama empat hari itu, dibahas pula masalah yang sedang berlangsung di Rohingya, kondisi yang terjadi di Kashmir, Suriah, dan Yaman hingga masalah muslim Uighur di Tiongkok.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, Mahathir menyatakan keresahannya terhadap absennya peran Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan mengatakan situasi minoritas muslim Uighur di Xinjiang, Tiongkok yang juga akan dibahas dalam konferensi. Menurutnya, komunitas Uighur menghadapi tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir, dengan setidaknya 1 juta penduduk ditahan di kamp-kamp reedukasi. Namun, Tiongkok menyanggah dengan keras kritik internasional atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam konferensi, Presiden Erdogan juga menyebutkan masalah terbesar yang dihadapi oleh organisasi yang menyatukan dunia Islam adalah kurangnya implementasi. “Jika kita masih belum bisa membuat kemajuan mengenai masalah Palestina, jika kita tidak bisa menghentikan eksploitasi sumber daya kita, dan jika kita masih belum bisa mengatakan berhenti pada fragmentasi dunia muslim atas sektarianisme, itulah penyebabnya,” kata Erdogan, seperti dilansir Reuters (20/12).
Konferensi juga menghasilkan kesepakatan antara Malaysia dan Turki untuk kerja sama penelitian dan pengembangan di ruang angkasa dan pertahanan. Malaysia juga mencapai kesepakatan dengan Qatar untuk menggandakan produksi susu negara Asia Tenggara itu menjadi 50 juta liter per tahun.
Erdogan juga menyerukan pemulihan Dewan Keamanan untuk mewakili 1,7 miliar orang di dunia Islam. Tiongkok, AS, Prancis, Inggris, dan Rusia merupakan anggota tetap Dewan Keamanan. "Dunia lebih besar dari lima negara tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, Presiden Rouhani meminta negara-negara muslim memasukkan perjanjian perdagangan preferensial menggunakan mata uang masing-masing dan menciptakan mekanisme khusus untuk kerja sama perbankan dan keuangan. “Dunia Muslim harus merancang langkah-langkah untuk menyelamatkannya dari dominasi dolar AS dan rezim keuangan Amerika,” kata Rouhani.
(Baca: Jokowi Bertemu Aung San Suu Kyi, Ingatkan Keamanan Rakhine State)
Kecaman Arab Saudi dan Sekjen OKI
Arab Saudi menolak keras penyelenggaraan Muslim Summit 2019 karena menilai konferensi itu bisa menjadi organisasi tandingan bagi OKI. Raja Salman bin Abdulaziz dalam pembicaraan lewat telepon dengan Mahathir mengatakan, diskusi mengenai masalah negara-negara muslim harus dilakukan melalui OKI. Sumber Saudi yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters bahwa Arab Saudi hanya akan hadir jika pertemuan diadakan di bawah bendera OKI.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal OKI Yousef al-Othaimeen mengatakan, pertemuan seperti itu hanya akan memecah belah umat Islam. “Bukan kepentingan negara Islam untuk mengadakan KTT dan pertemuan di luar kerangka OKI, terutama pada saat ini ketika dunia menyaksikan banyak konflik," kata Othaimeen kepada Sky News Arabia, tanpa secara langsung menyebut Malaysia. Ia juga mengatakan bahwa setiap upaya pelemahan OKI adalah pelemahan terhadap Islam dan muslim di dunia.
(Baca: Israel dan Palestina Saling Gempur, PBB Serukan Gencatan Senjata)
Pakistan yang semula dijadwalkan hadir juga menarik diri dari Muslim Summit. Seperti dilansir Reuters, para pejabat Pakistan mengatakan bahwa Presiden Imran Khan menarik diri dari KTT itu lantaran tekanan dari sekutunya, Arab Saudi.
Mahathir mengklarifikasi tudingan OKI dengan mengatakan bahwa tidak ada niat untuk menciptakan blok baru seperti yang disinggung oleh beberapa pengkritiknya. “KTT itu bukan sarana untuk membahas tentang agama atau urusan agama, tetapi secara khusus untuk membahas keadaan urusan umat Islam,” tutur Mahathir.
Reporter: Galuh Destya Ramadhani (Magang)