Protes Kematian George Floyd dan Ketimpangan Ekonomi Rasial di AS

Image title
11 Juni 2020, 16:03
Hannah McKay Pendemo membawa papan dan bereaksi di Whitehall ditengah protes Black Lives Matter setelah insiden tewasnya George Floyd saat ditahan polisi Minneapolis, di London, Inggris, Minggu (7/6/2020).
ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay/WSJ//dj
Hannah McKay Pendemo membawa papan dan bereaksi di Whitehall ditengah protes Black Lives Matter setelah insiden tewasnya George Floyd saat ditahan polisi Minneapolis, di London, Inggris, Minggu (7/6/2020).

Kematian George Floyd pada 25 Mei lalu telah menciptakan gelombang protes di Amerika Serikat (AS) sampai hari ini (11/6). Melansir AFP, para demonstran meruntuhkan patung penemu benua Amerika, Christopher Columbus di  St. Paul, Minnesota. Mereka menilai Columbus adalah perlambangan genosida terhadap pribumi Amerika.

Polisi yang berjaga di sekitar patung tak kuasa menghentikan aksi para demonstran. Setelah patung tersebut roboh mereka menyanyikan lagu tradisional pribumi Amerika. Para demonstran menyatakan, peruntuhan patung Columbus sebenarnya telah lama diupayakan melalui jalur politik, tapi selalu gagal.

Demonstrasi berkepanjangan di AS juga telah membuat lebih kurang 25 kota di 16 negara bagian menerapkan jam malam pada 1 Juni lalu. Kebijakan ini diambil para wali kota seluruh wilayah tersebut lantaran kerusuhan mengiringi jalannya protes.

(Baca: Amazon Larang Polisi Pakai Teknologi Rekognition Akibat Kematian George Floyd)

Presiden AS Donald Trump sempat diungsikan ke bungker saat protes terjadi di depang Gedung Putih pada akhir Mei. Ia menyebut para demonstran adalah teroris dan bagian dari gerakan antifa. Selain itu, politikus Republikan ini juga mengancam akan menurunkan militer untuk meredakan demonstrasi.

Di sisi lain, mantan Wakil Presiden AS Joe Biden yang akan melawan Trump dalam pemilu November mendatang menyebut kematian Floyd telah membawa angin perubahan. “Ketika ada keadilan untuk George Floyd, kita akan benar-benar berada dalam jalur kita menuju keadilan rasial di AS,” kata dia dalam sebuah video yang disampaikan sebagai testimoni pemakaman Floyd, kemarin (10/6).

Ketimpangan rasial memang menjadi sorotan di balik kasus kematian Floyd dan protes yang mengiringinya. Slogan black lives matter yang didengungkan para demonstran membawa pesan kesetaraan bagi seluruh ras di AS di segala bidang, termasuk ekonomi yang semakin dirasakan setelah pandemi covid-19 merebak.  

Melansir AFP, protes melawan ketimpangan rasial di AS tak terjadi sekali saja. Sebelumnya terjadi pada 1967, 1992, dan 2014. Hal yang sama adalah seluruh protes tersebut dipicu kekerasan oleh polisi kepada warga kulit hitam dan merembet ke aksi menuntut kesetaraan hidup seluruh ras.

(Baca: Minnesota Rencana Hapus Kepolisian Imbas Kasus George Floyd)

Ketimpangan Ekonomi Rasial di AS

Inequality.org sebuah situs yang fokus mengkaji ketimpangan rasial di AS dalam publikasinya menyatakan ketimpangan kulit putih dan kulit berwarna sangat sistemik. Hal ini berakibat kesenjangan kesejahteraan antara kulit putih dan kulit berwarna secara ekonomi.

Di tengah pandemi covid-19, menurut Inequality, ketimpangan berwujud jumlah kematian yang lebih banyak pada warga kulit hitam daripada warga kulit putih. Dari setiap 100 ribu warga AS, 55 warga kulit hitam meninggal dunia akibat corona. Angka tersebut dua kali lipat ketimbang jumlah warga kulit putih yang meninggal.

Menurut APM Research Lab, tingginya kematian warga kulit hitam karena mayoritas dari mereka bekerja di sektor informal dan memiliki pekerjaan kasar yang lebih riskan terinfeksi virus corona. Berbeda dengan warga kulit putih yang memiliki pekerjaan lebih baik dan minim risiko covid-19.

Pew Research Center mencatat tingkat warga kulit hitam yang kehilangan pekerjaan selama pandemi juga lebih banyak ketimbang kulit putih. Persentasenya 44% dari seluruh rumah tangga warga kulit hitam di AS kehilangan penghasilan, sementara kulit putih sebanyak 38%. Namun, tingkat pengangguran paling tinggi adalah warga Latin yang mencapai 66% dari total rumah tangganya.

(Baca: Orang Terkaya di Dunia Dikritik Konsumen Soal Kematian George Floyd)

Data Institute for Policy Studies menunjukkan ketimpangan ekonomi rasial yang lebih dalam. Dalam tiga dekade terakhir, kesenjangan kesejahteraan rumah tangga kulit putih dan kulit hitam nyaris tak berubah. Pada 1983, median kesejahteraan rumah tangga kulit putih sebesar US$ 110.160, sementara kulit hitam sebesar US$ 7.323. Pada 2016, median kesejahteraan rumah tangga kulit putih meningkat menjadi US$ 145.984, sementara kulit hitam justru menurun menjadi US$ 3.557.     

Jumlah warga kulit berwarna di AS yang menduduki posisi atas dalam piramida ekonomi juga sangat sedikit. Hal ini terlihat dari daftar CEO Fortune 500 pada 2018. Hanya ada 4 orang kulit hitam dan 10 orang Latin dari total 500 CEO di AS dengan penghasilan rata-rata US$ 14,5 juta.

Departemen Ketengakerjaan AS pada kuartal IV 2019 merilis data penghasilan pekerja berdasar ras. Hasilnya, median penghasilan warga kulit putih lebih tinggi 28% daripada kulit hitam dan lebih dari 35% ketimbang warga Latin.

“Kita tidak bisa menjadi negara terkaya dan tersejahtera di dunia selama masih terjadi ketidaksetaraan besar yang mencolok berdasarkan ras,” kata Monica Lewis-Patrick, presiden komunitas We the People of Detroit kepada AFP, Selasa (9/6).  

(Baca: Kematian George Floyd & Data Pembunuhan Kulit Hitam oleh Polisi di AS)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...