Trump Bertemu Xi Jinping Kamis, Optimistis Selesaikan Perang Dagang AS - Cina

Desy Setyowati
29 Oktober 2025, 16:26
trump bertemu xi jinping, perang dagang cina - as,
Reuters
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Presiden Amerika Serikat Donald Trump optimistis dapat mencapai gencatan senjata perang dagang dengan Presiden Cina Xi Jinping, di tengah-tengah acara KTT APEC atau Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik 2025 di Gyeongju, Korea Selatan.

Trump dijadwalkan berbincang dengan Xi Jinping pada Kamis di kota pelabuhan Busan. Jika terjadi, maka ini akan menjadi pertemuan pertama keduanya setelah Donald Trump menjabat kembali.

"Saya pikir kami akan mendapatkan hasil yang sangat baik bagi negara kita dan dunia, sebenarnya," kata Trump, dikutip dari Reuters, Rabu (29/10).

Ia berharap dapat mengurangi tarif AS terhadap barang-barang asal Cina sebagai imbalan atas komitmen Beijing mengekang ekspor bahan kimia prekursor fentanil.

Amerika Serikat dapat mengurangi separuh pungutan sebesar 20% terhadap barang-barang Cina yang sekarang dikenakan sebagai balasan atas ekspor bahan kimia tersebut.

Presiden AS mencatat bahwa topik sensitif Taiwan mungkin tidak akan dibahas dalam pertemuan dengan Xi Jinping pada Kamis (30/10). Amerika Serikat merupakan pendukung terpenting Taiwan dalam melawan ancaman Beijing.

"Saya tidak tahu apakah kita akan membahas Taiwan. Saya tidak yakin. Dia mungkin ingin bertanya tentang itu. Tidak banyak yang perlu ditanyakan. Taiwan adalah Taiwan," kata Trump dikutip dari The Guardian, Rabu (29/10).

Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan pertemuan kedua pemimpin akan menyuntikkan momentum baru ke dalam pengembangan hubungan Amerika Serikat – Cina. “Beijing siap bekerja sama untuk hasil positif,” kata instansi.

Terkait Taiwan, Pemerintah Cina mengklaim wilayah ini sebagai provinsi Tiongkok. Beijing juga menjalankan kampanye multifaset untuk menekan pemerintah agar menerima apa yang disebut sebagai ‘penyatuan kembali’.

Agenda utama pertemuan Trump dengan Xi Jinping yakni mengenai tanah jarang. Kekuasaan Tiongkok atas pasokan mineral penting yang vital bagi berbagai industri AS mulai dari pembuatan mobil hingga peralatan militer itu telah menjadi alat tawar yang kuat bagi Beijing.

Tiongkok menguasai sekitar 70% pertambangan tanah jarang dunia dan lebih dari 90% kapasitas pemrosesan. Bulan ini, Cina meningkatkan pembatasan ekspor tanah jarang dan teknologi terkaitnya, dengan alasan masalah keamanan nasional.

Dalam pembicaraan awal yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, selama akhir pekan, tim Cina tampak setuju untuk menunda aturan pengendalian ekspor selama satu tahun.

Kesepakatan quid pro quo seperti itu akan menjadi kemenangan bagi ekonomi Cina dan AS, meskipun para petinggi di Washington akan mengeluh bahwa melonggarkan kontrol ekspor cip ke Cina, dapat merusak keamanan jangka panjang Amerika Serikat.

Meski begitu, Trump tampaknya sedang melindungi taruhannya pada tanah jarang, karena beberapa bulan terakhir telah mengungkapkan ketergantungan AS pada Cina untuk komoditas penting ini.

Pada Selasa (28/10), Trump dan Perdana Menteri Jepang yang baru, Sanae Takaichi, menandatangani perjanjian untuk mengamankan penambangan dan pengolahan tanah jarang serta mineral lainnya.

“Kedua negara akan mempertimbangkan pengaturan penimbunan mineral penting yang saling melengkapi,” ungkap Gedung Putih dalam pernyataan bersama.

Jepang adalah salah satu negara ekonomi besar yang secara aktif berupaya mengurangi ketergantungan pada Tiongkok untuk logam tanah jarang. Ini model yang ingin diikuti oleh banyak orang di AS.

Pada 2010, bentrokan antara kapal Tiongkok dan Jepang di Laut Cina Timur memicu kekhawatiran bahwa Cina  akan memblokir ekspor logam tanah jarang ke Jepang, yang menyebabkan kepanikan di industrinya, terutama manufaktur mobil.

Sejak saat itu, Jepang mengurangi ketergantungan pada Cina dalam hal logam tanah jarang dari 90% menjadi 60%.

Cina juga berupaya mengurangi ketergantungan pada AS. Pada Selasa (28/10), Tiongkok menandatangani peningkatan perjanjian perdagangan bebas dengan blok ASEAN yang terdiri dari negara-negara Asia Tenggara, yang secara kolektif merupakan mitra dagang terbesar Beijing.

Perdagangan bilateral antara Cina dan ASEAN mencapai US$ 771 miliar tahun lalu, dibandingkan dengan US$ 659 miliar dalam perdagangan AS - Tiongkok.

Ancaman perang dagang global membayangi perundingan Xi Jinping dan Trump pada Kamis (30/10). Diskusi pada April misalnya, mengakibatkan ancaman atau pemberlakuan tarif dagang oleh kedua pihak melampaui 130%.

Tarif dagang Cina dan AS itu mencapai tingkat yang pada dasarnya setara dengan embargo perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia.

Dalam beberapa minggu terakhir, Trump mengancam akan mengenakan tarif 100% terhadap barang-barang asal Cina, mulai November, sebagai tanggapan atas pembatasan penggunaan tanah jarang. Namun, kini tampaknya tarif akan dihindari.

Yang masih menjadi pertanyaan adalah apa yang akan terjadi pada tarif tinggi yang dikenakan Beijing dan Washington satu sama lain pada awal perang dagang, yang sekarang ditunda hingga batas waktu 10 November untuk mencapai kesepakatan.

Per 25 September, rata-rata tarif dagang produk asal Cina ke Amerika Serikat 32,6%. Sementara rata-rata tarif produk AS ke Tiongkok adalah 57,6%, menurut data Peterson Institute for International Economics.

"Kedua pemimpin memandang diri mereka sendiri dan negara mereka berada dalam posisi yang sangat kuat," kata Direktur Pelaksana Program Indo-Pasifik di German Marshall Fund yang berbasis di AS Bonnie Glaser.

"Keduanya ingin menghindari kembalinya tarif yang sangat tinggi yang mereka ancamkan satu sama lain awal tahun ini,” Bonnie Glaser menambahkan.

Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi berbicara dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, melalui telepon pada Senin (27/10). Wang mengakui adanya kemunduran dalam hubungan dagang AS – Tiongkok.

Trump dan Xi Jinping mungkin akan membahas pengendalian fentanil dan menyelesaikan kesepakatan TikTok yang disepakati di Madrid, pada pertemuan Kamis (30/10).

Namun, terlepas dari detail perjanjian apa pun, kemajuan terbesar dalam KTT minggu ini menggarisbawahi potensi perundingan konstruktif antara dua tokoh paling berkuasa di dunia.

Trump menantang para petinggi di Washington untuk bersikap relatif damai dengan Xi Jinping. “Dan Xi Jinping yakin akan kemampuannya untuk mengendalikan Trump pada saat ini,” ujar Glaser.

 Mitra di Hutong Research, firma penasihat independen yang berbasis di Beijing dan Shanghai, Feng Chucheng mengatakan ada kesadaran yang semakin kuat di AS bahwa 'koeksistensi yang saling bergantung mungkin bermanfaat'. Dalam hal ini, paradigma Amerika Serikat terhadap Cina secara bertahap bergeser.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...