Jakarta Lakukan PSBB Atasi Covid-19, Ini Dampaknya ke Polusi Udara

Image title
8 April 2020, 13:33
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Memasuki minggu ketiga imbauan kerja dari rumah atau work from home (WFH), kualitas udara di Jakarta terus membaik seiring dengan minimnya aktivitas di Ibu
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/pras.
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Memasuki minggu ketiga imbauan kerja dari rumah atau work from home (WFH), kualitas udara di Jakarta terus membaik seiring dengan minimnya aktivitas di Ibu Kota. Berdasarkan data dari situs pemantauan udara AirVisual.com pada Kamis 3 April pada pukul 12.00 WIB, Jakarta tercatat sebagai kota dengan indeks kualitas udara di angka 55 atau masuk dalam kategori sedang.

Kementerian Kesehatan menyetujui permintaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna mencegah penyebaran virus Covid-19. Kemarin Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menandatangani Keputusan Menteri Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020 yang menjadi dasar hukum PSBB di Jakarta.

Dalam surat tersebut, Pemprov Jakarta diminta melaksanakan PSBB selama masa inkubasi terpanjang virus Corona atau 14 hari. Jangka waktunya bisa diperpanjang jika masih ada bukti penyebaran virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina itu.

Gubernur Jakarta, Anies Baswedan menyatakan akan memulai PSBB di wilayahnya pada 10 April. Namun sebelumnya ia menyatakan akan melakukan sosialisasi selama dua hari, pada 8 dan 9 April. Anies pun menyatakan akan melibatkan TNI dan Polisi untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik.

Selama penerapan PSBB sejumlah kegiatan dibatasi. Di antaranya sekolah dan kerja diliburkan. Kecuali pekerjaan yang esensial, seperti tenaga kesehatan dan industri pangan. Kegiatan keagamaan pun dibatasi di dalam rumah. Kegiatan pemakaman di luar korban virus Corona hanya boleh dihadiri maksimal 20 orang.

Selanjutnya fasilitas umum akan ditutup, baik fasilitas umum hiburan milik pemerintah maupun swasta. Diperkecualikan yakni fasilitas umum penting seperti supermarket, minimarket, apotek, tempat menjual peralatan medis, tempat menjual bahan pokok, dan tempat menjual BBM. Begitupun fasilitas kesehatan, hotel yang menampung wisatawan dan awak medis, perusahaan yang diperuntukkan untuk karantina, fasilitas umum kebutuhan sanitasi perorangan.

Kegiatan sosial dan budaya turut dilarang. Lalu kegiatan moda transportasi umum akan dibatasi jumlah penumpang dan jam operasionalnya. Kapasitas penumpang maksimal 50%, sementara jam operasional dimulai pukul 06.00 sampai 18.00. Kerumumnan dan ojek daring juga akan dibatasi.

(Baca: Libatkan Polisi dan TNI, Anies Terapkan PSBB DKI Jakarta Mulai 10 April)

Polusi Udara di Jakarta Menurun

Sebagaimana dikatakan Anies Baswedan, sebetulnya penduduk Jakarta telah membatasi pergerakan di luar rumah sejak beberapa minggu lalu. Membuat kondisi jalanan di Jakarta menjadi lebih sepi dari sebelum Corona merebak.

Jakarta sebelumnya memang kota sibuk. Data BPS pada Oktober 2018 menyatakan, belasan juta kendaraan bermotor melintas di DKI Jakarta. Paling banyak adalah sepeda moto sejumlah 13,3 juta. Disusul mobil penumpang sebanyak 3,5 juta. Selengkapnya bisa dilihat di Databoks berikut:  

Kini media sosial ramai unggahan foto tentang kondisi langit Jakarta yang lebih cerah karena polusi udara menurun. Benarkah begitu?

Merujuk data IQAIR.com, sebuah situs pemantau polusi udara, sejak 10 Maret lalu sampai hari ini polusi kualitas udara di Jakarta berada di tahap moderat. Nilai udara di Jakarta berkisar 60-90. Khusus hari ini (8/4) poinnya 73. Artinya, tidak menimbulkan bahaya besar bagi kesehatan. Hanya bisa membuat iritasi bagi sebagian individu yang memiliki sensitivitas kulit atau saluran pernapasan.

Data jam per jam menujukkan kualitas udara Jakarta terbaik pada pukul 07.00 pagi. Poin udara Jakarta di jam tersebut di angka 17 atau sangat baik dan cocok untuk melakukan kegiatan di luar ruangan, seperti berolahraga.  IQAIR pun memprediksi kualitas udara di Jakarta sangat baik pada 10 April.  

Kondisi itu berbeda dengan sebelum merebaknya virus Corona. Data IQAIR pada Desember menunjukkan kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori tak sehat dengan poin di antara 101-150. 

Melansir Mongabay, Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan kualitas udara di Jakarta pada kategori terbaik nyaris setelah 28 tahun. Nilai polytan PM2,5 rata-rata sebesar 18,6 µg/m3 .

(Baca: Menelusuri Asal Teori Konspirasi 5G dan Corona, Serta Kebenarannya)

Lockdown Corona Memperbaiki Lingkungan

Namun bukan hanya Jakarta yang menikmati perbaikan kualitas udara. Melansir CNBC, kualitas udara di Tiongkok membaik sejak lockdown berlaku di negara itu.  Analisis milik Carbon Brief menyebut penggunaan energi dan emisi karbon di Tiongkok turun sebanyak 25%. Selain itu, penelitian milik Columbia University menyebutkan emisi karbon secara global juga berkurang 50%.

Tak hanya itu, dalam rentang 1 Januari sampai 12 Maret satelit ESA’s Sentinel-5P memperlihatkan konsentrasi nitrogen dioksida di Italia menurun drastis. Pada 12 Maret, seperti dikutip National Geographic, sekawanan lumba-lumba berenang mendekati dermaga Cagliari, Pulau Sardinia Italia. Hal ini terjadi karena perairan di daerah itu menjadi lebih jernih dan lalu lalang kapal menurun. Di Venesia, ikan-ikan kecil pun terlihat seiring perahu-perahu tak lagi beroperasi.

Semua kondisi tersebut, kata Bill Gates, mengindikasikan perbaikan lingkungan setelah Corona merebak dan pergerakan manusia terbatas.  “Saya telah meluangkan banyak waktu untuk bekerja di bidang iklim. Saya harus mengatakan selama beberapa bulan terakhir yang telah berjalan sekarang, dan sampai kita keluar dari krisis ini, Covid-19 mendominasi beberapa hal tentang iklim,” katanya, dalam sebuah acara bincang-bincang, TED Talks pada 24 Maret.

Mantan direktur senior Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat dan sekaligus asisten khusus mantan presiden AS Presiden Barack Obama, Jason Bordoff, turut berpendapat Covid-19 memberikan manfaat jangka pendek atas perbaikan iklim seiring dengan pembatasan penggunaan energi.

“Atau bahkan manfaat jangka panjang jika stimulus ekonomi dikaitkan dengan tujuan iklim, atau jika orang-orang terbiasa menggunakan telekomunikasi dan dengan demikian menggunakan lebih sedikit minyak di masa depan,” tulisnya, dalam opini yang dipublikasikan di Foreign Policy pada 27 Maret.

Ia juga menganggap positif upaya negara-negara dunia menutup kota, melarang perjalanan dan mengisolasi masyarakat. “Tindakan ekstrem yang memberi harapan kepada para aktivis iklim, bahwa kebijakan ambisius yang sama mungkin bisa mengatasi pemanasan global,” katanya.

Meskipun begitu, Pendiri Pasifik Institute Peter Gleick kepada CNBC menyatakan perbaikan iklim ini tak akan berlangsung lama. Karena, manusia akan segera kembali ke kehidupan normal selepas masa pandemi berakhir dan dunia akan kembali menghadapi bahaya lebih besar: perubahan iklim.

Oleh karena itu, Peter meminta kepada pemimpin-pemimpin dunia untuk memperhatikan pendapat para ilmuwan yang telah lama menyuarakan bahaya perubahan iklim.

Kontributor: Nobertus Mario Baskoro

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...