AJI: Masih Ada Ketidaksetaraan Gender Dalam Dunia Jurnalistik
Isu kesetaraan gender dinilai belum mendapat perhatian perusahaan media. Aliansi Jurnalis Independen atau AJI masih menemukan pola pikir patriarki di dalam dunia jurnalistik.
"Dalam dunia jurnalistik, ketidakadilan dan ketidaksetaraan juga terjadi. Perlu perhatian banyak pihak termasuk media untuk mendorong agar kesetaraan bagi semua pihak terwujud, bukan mundur," kata Sekretaris Jenderal AJI Revolusi Reza dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (8/3). Diskusi ini bertepatan pula dengan Hari Perempuan Internasional.
Menurut laporan The International Women's Media Foundation (The IWMF) dalam laporan Global Report on the Status of Women in the News Media pada 2011, dari 522 perusahaan pers yang mereka teliti di seluruh dunia, jurnalis perempuan yang bekerja penuh atau full time hanya 33,3%.
Reza menjelaskan, dalam laporan tersebut, posisi sebagai news gathering, reporter, dan penulis (editor), juga masih didominasi laki-laki sebesar 64%. Sementara perempuan hanya mencapai 36%
Sedangkan di Indonesia, kesenjangan tersebut masih ditambah dengan perbedaan fasilitas yang diterima, terutama dalam fasilitas kesehatan. Perempuan pekerja media sering kali diberikan status single, sehingga meski memiliki anak, ia tak berhak mendapatkan asuransi untuk anak-anaknya.
"Perlu upaya yang sistematis dan strategis untuk mendorong perbaikan kondisi ini di internal media untuk kesejahteraan bersama," ucap dia.
(Baca: Dua Pemimpin Perempuan Berbagi Cerita Tantangan Karier dan Usaha)
Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Endah Lismartini menuturkan, pada Indeks Pemberdayaan Gender Badan Pusat Statistik (BPS) penempatan perempuan sebagai tenaga profesional di Indonesia pada tahun 2019 masih cukup rendah. "Indeksnya berada pada kisaran antara 35% hingga 55%," ucapnya.
Angka terendah berada di Papua sebesar 35,7%. Sedangkan angka tertinggi berada di Sumatera Barat 55,4%. Sementara DKI Jakarta, sebagai ibu kota dan tempat ideal untuk menjadi barometer pemberdayaan perempuan, hanya berada pada angka 47,3%.
Angka ini baru berbicara soal kesempatan yang diberikan pada perempuan. Belum sampai membicarakan kesenjangan upah, kesempatan jenjang karir yang lebih tinggi, atau fasilitas lain sebagai perempuan.
Sebab, dalam Laporan Perekonomian 2019, BPS mencatat kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan semakin lebar. Upah untuk pekerja laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. "Selama periode 2015 hingga Februari 2019, selisihnya mencapai Rp 492,2 ribu," tutupnya.
(Baca: Kesetaraan Gender Jadi Salah Satu Kunci Pertumbuhan Ekonomi)
Mengutip laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2020, secara umum skor Kesenjangan Gender Global berdasarkan jumlah penduduk berada pada posisi 68,6%. Artinya, masih
ada 31,4% kesenjangan yang menjadi tugas bersama masyarakat global.
Sedangkan, Indonesia berada pada peringkat 85 dalam urusan gender gap. Indikator kesenjangan tersebut terdiri dari empat dimensi, yaitu kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, partisipasi ekonomi, dan pemberdayaan politik.
Secara umum, kesenjangan paling besar adalah pada kesempatan dan partisipasi ekonomi 58% dan pemberdayaan politik 25%. Meski pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan angkanya sangat signifikan, yakni 97% dan 96%.