Kejaksaan Sita Aset Yayasan Supersemar Senilai Rp 242 Miliar
Kejaksaan Agung telah menyita aset milik Yayasan Supersemar senilai Rp 242 miliar dan menyerahkannya ke kas negara sejak 28 November 2019. Penyitaan bagian dari eksekusi menjalankan putusan kasasi Mahkamah Agung yang mewajibkan Yayasan Supersemar membayar kepada negara sekitar US$ 315 juta.
"Tindak lanjut terhadap proses ini, kejaksaan akan terus mengupayakan agar seluruh total nilai dari putusan tersebut dapat dieksekusi," kata Jaksa Agung RI ST Burhanuddin saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Senin (30/12).
(Baca: Kejaksaan Agung Bakal Kejar Aset Yayasan Supersemar hingga Luar Negeri)
Penyitaan aset Yayasan Supersemar berlangsung sejak beberapa tahun. Beberapa aset yang disita di antaranya gedung Granadi, tanah dan bangunan seluas 300 meter persegi di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, dan menyita 113 rekening dan tabungan Yayasan Supersemar.
Kasus bermula saat Kejaksaan Agung pada 1998 menemukan penyelewengan dana beasiswa dari Yayasan Supersemar. Penyelewengan diduga mengalir ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Presiden Soeharto mulai 1985 sampai 1998.
Padahal, dana Yayasan Supersemar merupakan uang negara karena dihimpun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Ketika itu, Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan.
(Baca: Titiek Soeharto: Gedung Granadi Bukan Hanya Milik Yayasan Supersemar)
Awalnya, Kejaksaan Agung mengusut kasus ini secara pidana, hanya saja Jaksa Agung ketika itu, Andi M. Ghalib, malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada 11 Oktober 1999. Andi beralasan tuduhan Soeharto menyelewengkan dana tak terbukti.
Pada Desember 1999, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Yayasan Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya kembali dibuka. Kejaksaan Agung lantas menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000.
Perkara ini masih tahap Penuntutan pada Agustus 2000. Kendati, persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.
Pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung kembali menggugat Soeharto secara perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa yang meminta menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi US$ 315 juta. Soeharto sendiri lolos dari gugatan karena dianggap penyelewengan dana dilakukan melalui Yayasan Supersemar.
Putusan hakim itu bertahan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hanya saja, dalam putusan kasasi MA pada 2010, terdapat salah terkait nilai ganti rugi. Pada Maret 2015 jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
(Baca: ICW Ingatkan Jokowi untuk Selesaikan Kasus Dugaan Korupsi Soeharto)