Pejabat KPK Sebut Ada Upaya Sistematis Melemahkan Institusinya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merancang upaya pelemahan KPK secara sistematis. Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang menyebut ada empat upaya sistematis yang dilakukan untuk melemahkan KPK.
Salah satunya adalah membiarkan kasus penyidik KPK Novel Baswedan. “Belum ada itikad serius mengungkap siapa pelakunya,” kata Rasamala di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (8/9).
Upaya lainnya adalah terpilihnya calon pimpinan KPK yang tidak diterima oleh publik. Sebab, publik menilai calon pimpinan tersebut memiliki rekam jejak yang tidak sesuai dengan tugas pemipin KPK.
Selanjutnya, rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan secara terburu-buru. “Terlihat korupsi yang dimasukkan ke RKUHP dan konsekuensinya ke depan,” ujar dia.
Ada pula upaya pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK. Menurutnya, ada sejumlah poin kritikal dalam revisi undang-undang tersebut.
(Baca: UU KPK Direvisi, Pimpinan dan Pegawai KPK Lakukan Aksi Tutup Logo KPK)
Pertama, adanya dewan pengawas yang bertugas mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam setahun.
Kedua, KPK perlu meminta izin untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Selama ini, hal tersebut dapat dilakukan tanpa melalui proses perizinan. Selain itu, adanya keharusan merekrut anggota penyelidik yang selama ini dari tim independen.
Di sisi lain, revisi beleid tersebut juga mengharuskan KPK melakukan konsultasi dengan kejaksaan dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan.
Padahal penangkapan perkara akan dibatasi dalam waktu satu tahun, dan tiga bulan untuk penyadapan. Bila melebihi waktu tersebut, proses penyelidikan dapat diberhentikan.
“Area tersebut jadi kritikal karena banyak transaksi muncul akibat fasilitas tersebut,” ujarnya.
(Baca: DPR Tak Libatkan Panel Ahli dalam Uji Kelaikan dan Kepatutan Capim KPK)