Jokowi Isyaratkan Tak Setuju Amendemen UUD 1945 dan GBHN
Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut merespons polemik terkait rencana sejumlah partai politik mengubah konstitusi atau amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Presiden terpilih periode tahun 2019-2024 ini mengisyaratkan keberatannya terhadap rencana yang dapat bermuara kepada perubahan sistem pemilihan presiden secara langsung di masa depan tersebut.
Meski tidak secara langsung menolak rencana amendemen UUD 1945, Jokowi mengomentari potensi perubahan sistem pemilihan presiden dari hasil perubahan konstitusi tersebut. Sebagai presiden yang dua kali dipilih oleh rakyat lewat pemilihan presiden langsung, dia tidak setuju jika presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Masak saya mendukung pemilihan itu (oleh MPR). Nanti tukang kayu tidak bisa lagi jadi presiden," kata Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (14/8).
(Baca juga: Panasnya Wacana Amendemen UUD 1945 dan Kembalinya GBHN)
Selain itu, Presiden juga menanggapi rencana dihidupkannya kembali kewenangan MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Jokowi, saat ini arah kebijakan pemerintah ke depan sudah dirancang dan disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). "Kalau GBHN kan kewenangannya legislatif, sedangkan RPJMN oleh eksekutif," ujarnya.
Di sisi lain, Jokowi menilai tidak tepat memberlakukan kembali GBHN karena tidak lagi adaptif dengan perkembangan zaman. Padahal, pemerintah membutuhkan rencana kebijakan yang lebih responsif dalam bentuk RPJMN.
Wacana amendemen UUD 1945 kembali mencuat pasca Kongres V PDIP yang berakhir pada 11 Agustus lalu. Salah satu rekomendasi kongres partai utama pendukung Jokowi tersebut adalah mendorong MPR periode 2019-2024 mengamendemen UUD 1945 untuk menetapkan GBHN. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan, GBHN akan menjadi pembimbing arah Indonesia maju.
Meski begitu, ia memastikan pemilihan presiden tetap berada di tangan rakyat. "Amendemen bersifat terbatas berkaitan GBHN," kata Hasto dikutip dari Antara, 10 Agustus lalu.
Selain itu, PDIP membuka kemungkinan partai politik di luar koalisi Jokowi bergabung dalam paket pimpinan MPR. Syaratnya, partai tersebut harus mendukung amendemen UUD 1945.
(Baca juga: Pakar Sebut Amendemen UUD Jadi Celah Parpol Dikte Presiden)
Namun, rencana itu masih mengundang polemik. Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta agar usulan itu tidak terburu-buru. Apalagi, ujung dari amendemen itu adalah mengembalikan kewenangan MPR dan GBHN.
Alasannya, dinamika politik global saat ini sangat luar biasa. "Berbeda dengan 50 tahun lalu,” kata politikus Partai Golkar tersebut, seperti dikutip dari Antara. Karena itu, perlu kajian lebih dalam apakah GBHN perlu atau tidak.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai tidak tepat alasan mengembalikan GBHN untuk menciptakan dasar pembangunan. Sebab, saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dalam undang-undang itu sudah ada rencana pembangunan jangka panjang, bukan hanya menengah. “Bentuknya undang-undang, artinya itu dibahas juga oleh DPR, partai-partai politik juga. Jadi tidak akurat kalau misalnya dikatakan kita tidak punya haluan negara," kata Bivitri.
Sedangkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengingatkan agar wacana menghidupkan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945 tidak dijadikan sebagai komoditas politik. Apalagi saat ini Indonesia sudah punya sistem perencanaan pembangunan nasional melalui RPJMN.
Sistem itu adalah pengganti GBHN dan sudah berlaku sejak 2005. "Kita bertanya, sebetulnya untuk apa sih GBHN? Tujuannya apa? Apakah dengan tidak adanya GBHN sekarang tidak tercapai? Kalau tidak tercapai masalahnya di mana?" kata Letjen TNI Purn Agus Widjojo.