Jokowi, Pemenang Lima Pemilu dari Pilkada Solo hingga Nasional
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalil-dalil permohonan mereka dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Keputusan ini mengukuhkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Jokowi merupakan presiden sipil pertama pascareformasi yang dipilih rakyat selama dua periode.
Jokowi yang lahir di Surakarta, 21 Juni 1961 tidak pernah berpikir akan terjun di dunia politik. Ia juga bukan aktivis. Jokowi muda lebih senang memanjat gunung saat menjadi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Ia tercatat sebagai salah satu anggota Mapala Silvagama.
Orang nomor satu di Indonesia ini mengaku 'tercebur' alias tidak sengaja terjun ke dunia politik. Namun, Jokowi berhasil unggul dari semua lawannya. Ia tidak pernah kalah dalam Pemilu yang ia ikuti, baik dari Pilkada Solo 2005 dan 2010, Pilkada DKI Jakarta 2012, hingga Pilpres 2014 dan 2019.
Karier politik Jokowi diawali saat pengusaha mebel yang tergabung dalam Asmindo Komda Solo Raya menginginkan calon wali kota Solo yang bukan berasal dari militer ataupun birokrasi sebagaimana pendahulunya. Para pengusaha ini mengajukan Jokowi sebagai calon wali kota karena dianggap pantas. Apalagi, potensi ekonomi, perdagangan, dan pariwisata di Solo membutuhkan sentuhan pengusaha untuk memajukannya.
Jokowi akhirnya memantapkan hati untuk bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 2004. Ketika menduduki jabatan sebagai salah satu pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP, ia mengenal FX Hadi Rudyatmo. Dari kenal hingga menjadi dekat, keduanya memutuskan untuk maju sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo pada 2005. Jokowi-FX Hadi diusung oleh PDIP dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hingga akhirnya menang dengan perolehan suara 36,62%.
Sosok Jokowi dikenal progresif dalam memajukan Kota Solo. Ia kembali mencalonkan diri di Pilkada Solo 2010 dan berhasil merebut 90,09% suara rakyat Solo. Namun, ia tidak menyelesaikan amanahnya hingga akhir karena diminta oleh PDIP untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2012.
Pilkada DKI Jakarta 2012 diikuti enam pasangan calon. Empat paslon diusung oleh partai politik dan dua paslon independen. Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok/BTP) dan diusung oleh dua partai, yaitu PDIP dan Gerindra.
Jokowi-Ahok lolos putaran pertama bersama paslon Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi. Saat itu Foke merupakan petahana dan didukung oleh banyak partai. Namun keunggulan dari Foke tidak menghalangi Jokowi untuk menang di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Jokowi berhasil meraup suara sebanyak 53,82%.
Baru dua tahun menjabat, Jokowi kembali diminta untuk maju ke arena yang lebih tinggi. Pilpres 2014 ajang pertamanya bertarung di ranah nasional. Putra Solo ini pun memberanikan diri untuk melawan pengusungnya saat maju menjadi Gubernur DKI Jakarta, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. Pada Pilpres 2014, Jokowi yang berpasangan dengan M Jusuf Kalla kembali dinyatakan sebagai pemenang dengan perolehan suara sebesar 53,15% sedangkan Prabowo-Hatta 46,85%. Dalam Pilpres 2019 ini, Jokowi-Ma'ruf meraup 55,5% suara sedangkan Prabowo-Sandi 44,5%.
(Baca: Jokowi Janji Jalankan Amanah Presiden Periode 2019-2024)
Masa Kecil Jokowi, Tiga Kali Kena Gusur
Keberhasilan Jokowi dalam memenangkan setiap pemilihan umum tidak lepas dari karakternya yang sederhana dan merakyat. Karakter ini dilatarbelakangi dari pengalaman hidupnya sejak kecil yang berasal dari keluarga kurang mampu. Ketika lahir, orang tua Jokowi memberinya nama Mulyono. Pada saat itu ia sering sakit-sakitan.
Ada kepercayaan masyarakat Jawa bahwa anak yang sakit-sakitan perlu berganti nama, kemudian diganti dengan Joko Widodo. “Boleh tidak percaya, saya kemudian tumbuh sehat. Itu misteri,” kata Jokowi dalam buku biografinya Menuju Cahaya.
Jokowi menghabiskan masa kecilnya tinggal di pinggir sungai. Saat itulah ia merasakan penderitaan karena tiga kali rumahnya terkena penggusuran. “Tahun 1970-an, saya ingat betul, masih SD. Rumah saya di pinggir kali digusur. Sekian tahun pembangunan kan senangnya digusur seperti itu, dan tidak diberi ganti rugi, solusi,” katanya.
Jokowi dan orang tuanya berkali-kali pindah rumah dan selalu di pinggir sungai. Salah satunya pernah bermukim di rumah kumuh bantaran Kali Pepe, Kampung Cinderejo, Solo. Di sini tiga adik Jokowi yang bernama Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati lahir.
(Baca juga: Peluncuran "Menuju Cahaya": Sederhananya Jokowi dan Dukungan Tahir)
Pengalaman sebagai warga yang tergusur memengaruhi keputusan Jokowi terutama terkait dengan penggusuran. Salah satunya ia berhasil menata pedagang kaki lima (PKL) saat menjadi Wali Kota Solo tanpa gejolak sama sekali.
Jokowi berkomunikasi dengan baik sehingga ia berhasil mematahkan mitos pemindahan PKL yang harus berujung pada bentrokan antara aparat dan pedagang. Akhirnya 900 orang PKL mau meninggalkan Taman Banjarsari di pusat Kota Solo menuju lokasi baru di Pasar Klitikan.
Keberhasilan Jokowi dalam menangani penggusuran tanpa konflik tentunya tidak mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Ia harus menjalin komunikasi dan negosiasi selama berbulan-bulan dengan perwakilan PKL tersebut hingga mereka mau dipindahkan ke lokasi yang baru. Selain itu, ia juga menjamin kepastian hukum untuk para pedagang.
Jokowi Memangkas Birokrasi Berdasarkan Pengalaman sebagai Pebisnis
Anak dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo itu sejak kecil juga tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Ia membantu kedua orang tuanya dengan menjadi pengojek payung ketika hujan, kuli panggul, hingga berjualan aneka ragam barang. Bahkan saat umur 12 tahun, Jokowi ikut bekerja sebagai penggergaji kayu. Keahliannya ini didapatkan dari ayahnya yang berprofesi sebagai tukang kayu.
Setelah lulus SMA, Jokowi diterima di jurusan Kehutanan UGM. Di sinilah Jokowi giat belajar mengenai kayu, teknologi, serta pemanfaatannya yang merupakan modal sebagai seorang pengusaha mebel. Selain itu, keterampilannya ini didukung dari pengalaman Jokowi saat bekerja di perusahaan Pabrik Kertas Kraft Aceh milik pamannya.
Jokowi mengundurkan diri pada 1998 dari perusahaan pamannya dan mendirikan pabrik sendiri bernama Rakabu. Ia bangun dari nol hingga berkembang dan memiliki lebih dari lima lokasi pabrik. Tidak mengherankan jika industri mebel dan kayu mengalami perkembangan yang cukup pesat di bawah kepemimpinan Jokowi sebagai Wali Kota Solo. Salah satu keberhasilannya adalah menghadirkan kawasan industri mebel dan kayu di wilayah Kalijambe, Sragen. Di sana berdiri 50 kavling untuk tempat industri dengan luas lebih kurang 25 hektare.
(Baca: Paket Kebijakan Ekonomi Dirilis Buat Tambal Defisit Transaksi Berjalan)
Ketika menjadi pemimpin negara, Jokowi gencar memberikan program yang berisi paket kemudahan bisnis bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dikarenakan saat menjadi pengusaha, Jokowi merasakan sulitnya proses perizinan sehingga ia ingin memangkas prosedur perizinan tersebut.
Upaya yang dilakukan antara lain menyederhanakan prosedur, menurunkan biaya, dan mempercepat waktu penyelesaian atas beberapa aspek. Aspek ini diantaranya untuk memulai bisnis, izin mendirikan bangunan, pendaftaran properti, mendapatkan sambungan listrik, dan lain sebagainya.
Jokowi juga dikenal sering 'blusukan' untuk mengecek langsung kondisi di masyarakat. Saat menjadi gubernur DKI Jakarta, ia melakukan inspeksi mendadak ke Rusunawa Marunda Cilincing, Jakarta Utara untuk mengecek berbagai kesiapan hunian di Rusun Marunda. Selain itu ia juga datang ke lokasi banjir hingga rela turun langsung membantu warga dalam genangan air.
(Baca: Jokowi Beberkan Usaha Mebelnya dari Kecil hingga Besar ke Para Umi)