ALMI Minta Litbang di Kementerian Dioptimalkan,Bukan Bentuk Badan Baru
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) meminta pemerintah lebih mengoptimalkan divisi atau bagian penelitian dan pengembangan (Litbang) yang sudah ada di setiap kementerian daripada membentuk lembaga atau badan penelitian yang baru.
Sekretaris Jenderal Berry Juliandi menegaskan, baik ALMI maupun Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sudah mengutarakan pendapat berkali-kali ke Dewan Perwakilan Rakyat maupun stakeholder yang lain dalam berbagai pertemuan bahwa urgensi dari pembentukan lembaga baru itu belum dikaji secara matang. Saat ini tidak ada kepentingannya untuk membentuk sebuah badan riset yang baru lagi.
ALMI menilai, Litbang di setiap kementerian itu sudah ada, tapi yang belum dilakukan adalah memaksimalkan fungsi dan tata kelolanya. Sekarang ini sudah ada lembaga yang memberi masukan ke Presiden, sudah ada yang memberikan masukan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, serta sudah ada juga lembaga yang melakukan penelitian, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau perguruan tinggi.
“Sebenarnya tinggal menata yang sudah ada saja. Tidak perlu membuat lembaga baru. Cukup memetakan kementerian atau lembaga mana yang melakukan penelitian dan mana yang benar-benar melakukan kajian terapan. Kementerian atau lembaga yang ada itu harus melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,” kata Berry saat ditemui di Perpustakaan Nasional, Jumat, 22 Maret 2019.
Menurut Berry, sebetulnya yang perlu dibenahi adalah tugas pokok dan fungsi dari Litbang yang ada. Litbang harus lebih diarahkan ke pengambilan kebijakan untuk mendukung pengambilan kebijakan di tingkat kementerian, bukan untuk melakukan hard science, yang benar-benar melakukan riset dan penelitian. Kecuali di kementerian-kementerian tertentu, seperti Kementerian Kesehatan atau Kementerian Pertanian, yang memang perlu melakukan riset dan penelitian.
Selama ini seringkali terjadi saling tumpang tindih atau overlapping dan itu akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, bukan semata-mata kesalahan dari lembaga riset.
“Seperti yang terjadi sekarang, perguruan tinggi yang seharusnya ada di bidang pendidikan penelitian, juga diminta sampai ke hilir, sampai ke inovasi. Padahal, ini kan seharusnya tugas dari badan atau lembaga yang lain,” kata Berry dari Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB ini.
Dalam debat pemilihan presiden putaran ketiga pada 17 Maret 2019 lalu, calon wakil presiden Ma’ruf Amin menyebutkan akan membentuk Badan Riset Nasional untuk mengembangkan riset dan mengoordinasikan dana-dana riset yang sekarang ini tersebar di kementerian dan lembaga.
Selain itu, pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin nantinya juga akan memaksimalkan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang sudah ada. “Dengan berbagai upaya itu, di masa yang akan datang kita akan berhasil memajukan negara ini menuju 10 years challenge,” kata Amin.
Namun, calon wakil presiden Sandiaga Uno tidak setuju dengan pembentukan Badan Riset Nasional ini. Sebab, menambah jumlah badan yang menangani riset, berarti menambah jumlah birokrasi. Bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, kata Sandi, kuncinya adalah pada kolaborasi.
Menanggapi pernyataan Sandi, Amin mengatakan Badan Riset Nasional itu bukan untuk menambah lembaga tapi justru mengefisienkan, menyatukan lembaga-lembaga yang sudah ada ke dalam satu lembaga yang menangani riset. Penanganan riset bisa menjadi lebih efektif, terutama pemerintah, akademisi, dan DUDI atau dunia usaha dan dunia industri. Dengan begitu, riset akan semakin berkembang untuk membangun Indonesia ke depan.
(Baca: Ma'ruf dan Sandi Berdebat Soal Badan Riset Nasional)
Namun, Berry kembali menekankan bahwa pembentukan badan riset itu tidak diperlukan, karena sebenarnya sudah terakomodasi oleh Litbang yang ada di kementerian-kementerian dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya yang sudah ada. Saat ini yang paling dibutuhkan justru ada badan independen yang khusus mengelola dana riset itu.
Jika pemerintah membentuk badan riset lagi, maka badan itu dikhawatirkan bisa memonopoli semuanya. Badan bentukan pemerintah tersebut akan menjadi regulator, badan yang mengatur siapa yang boleh melakukan riset, sebagai pelaku riset, dan sekaligus sebagai pengelola dana. Jika badan pemegang dana riset ini dipisah, kewenangan-kewenangan yang sifatnya monopoli bisa terhindari. Apalagi badan pengelola dana riset nanti bisa diaudit Badan Pemeriksa Keuangan jika menggunakan anggaran negara atau lembaga auditor independen lainnya jika dananya berasal dari hibah atau filantropi lainnya.
“Kalau ada BRN, lembaga superbody yang mengatur semua itu, malah akan menambah keruwetan nantinya,” kata Berry. (*)