Perjalanan Lima Dekade Bisnis Studio Rekaman Sebelum 1990
Digitalisasi teknologi turut mengubah aktivitas bisnis di bidang permusikan. Konsumen meninggalkan perangkat konvensional seperti kaset dan semakin mengandalkan platform pemutar musik digital.
Drummer Grup Musik PAS Band Sandy Andarusman menyatakan, musisi sekarang tak lagi berharap kepada saluran penjualan karya melalui toko musik. "Sekarang eranya sudah digital. Kepada toko dan label musik, kami tidak banyak berharap lagi," ucapnya kepada Katadata.co.id, Senin (11/2).
Perusahaan rekaman beradaptasi. Salah satu label tertua di Tanah Air yang terus bertahan adalah Lokananta. (Baca juga: Slank Tambah Panjang Daftar Musisi yang Rekaman di Studio Tertua)
Kilas balik perjalanan industri musik nasional tak bisa melepaskan peran Lokananta di Surakarta, Jawa Tengah. Tapi, sebelum label milik pemerintah ini beroperasi pada era 1950-an, sudah ada usaha swasta yang lebih dulu berkiprah yaitu Tio Tek Hong.
1. Era 1940-an
Dokumen Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) terkait rencana pengembangan industri musik nasional menyebutkan, perusahaan rekaman Tio Tek Hong yang berlokasi di Batavia alias DKI Jakarta itu beroperasi sejak 1940.
Studio tersebut merekam lagu-lagu penyanyi Indonesia pada masa Perang Dunia kedua. Pada saat itu, jenis musik yang beredar sebagian besar keroncong, gambus, dan juga lagu-lagu bernafaskan kebangsaan.
2. Era 1950-an
Pada masa ini, genre musik bergeser ke pop. Kondisi ini seiring dengan kemunculan beberapa label rekaman swasta yaitu Dimita, Remaco, Nirwana, TOP, Eterna, dan Contessa. (Baca juga: DPR: Pembahasan RUU Permusikan Tidak Tuntas Tahun Ini)
Bing Slamet, Titiek Puspa, Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, Koes Plus, dan Panbers termasuk musisi Tanah Air yang pertama-tama masuk dapur rekaman. Pada era 1950-an, Lokananta fokus merilis lagu kedaerahan sembari memproduksi dan menduplikasi piringan hitam.
3. Era 1960-an
Memasuki 1960, beberapa label rekaman baru hadir, seperti Hins Collection dan Akurama. Pada tahun-tahun ini juga terjadi perkembangan medium rekaman. Piringan hitam dengan harga relatif mahal tergeser kehadiran kaset.
4. Era 1970-an
Industri permusikan Tanah Air memasuki perjalanan panjang mulai 1970. Salah satu perubahan yang terjadi adalah kehadiran perusahaan rekaman dengan peralatan lebih modern pada 1976.
Recording studio tersebut mengoperasikan alat bersistem delapan sampai dengan 16 tracks dalam memproduksi musik untuk film. Studio Triple M dan Musica Studio termasuk label rekaman yang pertama menerapkan.
Selain itu, hadir tape recorder untuk merekam lagu dari siaran radio maupun piringan hitam. Imbasnya, semakin banyak beredar kaset kosong untuk menyimpan rekaman menggunakan tape ini.
Selain itu, selama era 1970-an juga terjadi perubahan di pasar musik nasional, yakni semakin banyak yang menggandrungi genre pop. Banyak musisi yang tidak mengikuti keinginan pasar lantas karirnya meredup.
Label rekaman berusaha beradaptasi dengan menghadirkan produser. Dampaknya, musisi merasa kebebasan berkreasi terpangkas. Mereka yang mengkritik soal ini adalah Zaenal Arifin, Yopie Item, Wandi Kuswandi dan Benny Likumahua.
Pada pengujung 1970-an, muncuk teknologi dan sistem yang lebih maju menggunakan shift berkapasitas hingga 32 tracks. (Baca juga: Sepuluh Musisi Jazz Tanah Air Tampil Perdana di Konser Khatulistiwa)
Seiring dengan dinamika yang ada, Sandy menekankan bahwa lini hilir musik merupakan area yang harus diatur tegas melalui regulasi. "Semua orang butuh musik. Semua orang beli musik. (Konsumsi ) musik ada di mana-mana," tuturnya.
5. Era 1980-an
Menapaki 1980, studio rekaman Remaco bangkrut sedangkan Musica semakin berjaya dengan mengusung kontrak jangka panjang dengan pemusik. Lima tahun kemudian, industri rekaman sempat dikecam dunia internasional akibat marak kompilasi lagu asing tanpa izin.
Perkembangan lain ialah penerapan sistem pembayaran flat dan nonflat. Skema flat pay artinya pembelian master termasuk semua keuntungan dimiliki produser atau pemilik master. Musisi hanya menerima honor rekaman dan mendapat bonus jika album laris.