Alasan di Balik Rendahnya Peran Perempuan Indonesia dalam STEM
Sekar Arum teringat saat pertama kali masuk kuliah jurusan Teknik Informatika lebih dari 10 tahun silam. Meskipun sering dianggap sebagai bidang untuk laki-laki, ternyata teman-teman perempuannya di jurusan tersebut cukup banyak. Bila dihitung secara kasar, ada sekitar 50 orang perempuan dari total mahasiswa seangkatannya yang berjumlah 120 orang.
Sekarang, jika diminta untuk menyebutkan teman-teman perempuannya yang berkarir di industri Teknik Informatika (TI), dia mengaku kesulitan. Jumlah teman perempuannya yang benar-benar terjun ke industri TI bisa dihitung dengan jari. Bahkan, dia sendiri saat ini memilih untuk berkarir di bidang media yang tidak berhubungan langsung dengan latar belakang pendidikannya.
Di balik alasannya untuk mengejar passion di dunia tulis menulis, Arum mengaku merasa tidak percaya diri untuk berkompetisi dengan para pria. Meskipun dia berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan, kemampuannya dalam hal teknis yang berkaitan dengan teknologi informasi dianggapnya belum cukup untuk sesuai dengan persyaratan diminta perusahaan.
“Syarat untuk posisi TI itu sangat banyak, mulai dari mahir beberapa bahasa pemrogaman, kemampuan setting-up jaringan internet, hingga harus bersedia dihubungi 24 jam per hari jika ada yang berhubungan dengan kendala teknis,” kata Arum kepada Tim Riset Katadata.
Arum menjelaskan, banyaknya persyaratan teknis dan waktu kerja yang tidak tentu membuatnya mundur. Pasalnya, kesediaan untuk bisa dipanggil pada jam berapapun jika ada kendala teknis termasuk pada tengah malam cukup memberatkannya. Selain itu keluar saat larut malam dianggap tidak aman bagi perempuan.
Arum merupakan salah satu perempuan yang merasa bahwa kebijakan perusahaan yang bergerak pada industri STEM belum ramah terhadap perempuan. Menurut Isis H. Settles dalam penelitiannya bertajuk Women in STEM: Challenges and determinants of success and well-being. Psychological Science Agenda beberapa faktor lainnya juga berkontribusi terhadap ‘dingin’-nya iklim STEM yang tidak nyaman bagi perempuan, seperti mendapatkan tekanan kinerja yang lebih besar karena diharapkan untuk mewakili perempuan sebagai sebuah grup.
Selain itu, berdasarkan studi yang berjudul Professional Role Confidence and Gendered Persistence in Engineering yang diterbitkan oleh American Sociological Review menunjukkan bahwa banyak perempuan yang keluar dari karir STEM karena kurangnya Professional Role Confidence atau kepercayaan diri untuk memenuhi peran, kompetensi, dan sifat identitas profesi tersebut.
Dukungan untuk Perempuan
Sejalan dengan laporan yang dirilis UNESCO dan Korean women’s Development Institute pada 2015, A Complex Formula: Girls and Women in Science, Technology, Engineering, and Mathematics in Asia, jumlah mahasiswa perempuan di bidang STEM bisa dibilang cukup banyak dan mendominasi.
Beberapa di antaranya adalah jumlah mahasiswa perempuan di bidang farmasi mencapai 88 persen, biologi 80,7 persen, kedokteran 73 persen, kimia 66,8 persen, matematika 57,7 persen, dan fisika 38,9 persen. Sayangnya, tingginya partisipasi perempuan dalam bidang STEM di tataran pendidikan tersebut tidak berlanjut ke jenjang karir dan pekerjaan. Salah satu alasannya adalah kurangnya rasa percaya diri untuk berkompetisi dengan kandidat pria.
Hal itulah yang dialami Ajeng Sylvia, perempuan berusia 28 tahun yang bekerja di bagian kredit mikro sebuah bank daerah. Ia adalah lulusan dari jurusan Teknik Informatika di sebuah kampus perguruan tinggi negeri di Bandung. Dia mengaku pernah mengajukan lamaran kerja ke perusahaan TI tetapi tidak mendapatkan respon dan dia mengaku tidak percaya diri jika harus berkompetisi dengan laki-laki.
“Dulu sempat mencoba melamar ke perusahaan TI juga, tetapi malah dapat kerjanya di bank. Dan saya merasa tidak percaya diri harus berkompetisi dengan laki-laki. Mereka lebih pintar coding,” katanya.
Penelitian UNESCO di Indonesia mencatat jumlah peneliti perempuan di bidang STEM hanya 31 persen sementara laki-laki mencapai 69 persen. Lebih lanjut, hasil studi Microsoft Asia pada 2017 menemukan bahwa hanya 20 persen perempuan di dunia yang memilih bekerja di industri STEM. Padahal, dengan meningkatnya peran perempuan dalam industri STEM bisa ikut menekan tingginya kesenjangan gender di dunia kerja yang masih terjadi di Indonesia.
Dengan mendorong lebih banyak perempuan untuk bekerja di industri STEM, maka pendapatan dan prospek ekonomi bagi perempuan pun meningkat. Ini membuat posisi tawar perempuan menjadi lebih tinggi. Hal itu bisa menambah kepercayaan diri para perempuan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri.
Selain memberikan dorongan dan kepercayaan, perlu adanya andil dari berbagai pemangku kepentingan untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi para perempuan. Misalnya, pemerintah bisa mengambil peran dengan memberikan ruang dan regulasi yang baik kepada dunia bisnis dalam mendukung keterlibatan perempuan di dunia industri STEM. Antara lain, memberikan beasiswa STEM dan memberikan kesempatan kerja lebih luas di bidang tersebut kepada perempuan.
Sementara itu, usaha yang dilakukan pelaku bisnis antara lain memberikan kepercayaan, kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mengisi posisi strategis dalam perusahaan, serta memberikan peraturan dan kebijakan kerja yang pro-perempuan.
This article was produced in partnership with Investing in Women, an initiative of the Australian Government that promotes women’s economic empowerment in South East Asia.