Sjamsul dan Dorodjatun Ada dalam Dakwaan Kasus BLBI Eks Kepala BPPN
Ratas Pimpinan Megawati
Pada 11 Februari 2004 dalam Sidang Kabinet Terbatas (Ratas), Syafruddin melaporkan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri terkait utang petambak sejumlah Rp 3,9 triliun. Syafruddin ketika itu menjelaskan bahwa utang yang bisa dibayar sebesar Rp 1,1 triliun. Adapun sisanya Rp 2,8 triliun diusulkan untuk dihapusbukukan.
Syafruddin juga juga menyampaikan kemungkinan untuk penghapusan pembukuan di BPPN. Namun, dia tidak melaporkan aset berupa utang petambak yang diserahkan Sjamsul terdapat misrepresentasi saat penyerahannya ke BPPN.
"Bahwa atas laporan terdakwa tersebut, kesimpulan Ratas tidak memberikan keputusan dan tidak mengeluarkan penetapan terkait dengan hutang petambak," kata Helmi.
Kemudian pada 12 Februari 2004, Syafruddin mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN yang mengusulkan agar KKSK memutuskan penghapusan atas porsi utang unsustainable petambak plasma sebesar Rp. 2,8 Triliun sesuai Sidang Kabinet Terbatas pada 11 Februari 2004. Padahal Ratas pada 11 Februari 2004 tidak pernah mengambil keputusan untuk dilakukan penghapusan.
Syahdan pada 13 Februari 2014, Dorojatun sependapat dengan Syafruddin dan mengeluarkan Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004. Keputusan itu menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp 100 juta.
Dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut, maka sebagian utang pokok dihapuskan secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma. Selain itu, seluruh tunggakan bunga serta denda dihapuskan. Keputusan KKSK sebelumnya yang memerintahkan porsi unsustainable debt ditagihkan ke Sjamsul dan dialihkan ke PT DCD pun dinyatakan tidak berlaku.
"Sehingga mengakibatkan hilangnya hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada Sjamsul Nursalim," kata Helmi.
Penerbitan SKL BLBI
Syafruddin yang masa tugasnya berakhir pada 27 Februari 2004 kemudian menyerahkan daftar aset BPPN kepada Menteri Keuangan Boediono sebesar nilai buku Rp 4,86 triliun. Untuk memperlancar penghapusan aset utang petambak tersebut, saldo aset kredit itu diubah menjadi Rp 1,129 triliun pada database BUNYSYS sesuai keputusan KKSK No.KEP.02/K.KKSK/02/2004 tanggal 13 Februari 2004 yang ditetapkan Dorojatun.
Pada rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas penyelesaian PKPS tertanggal 17 Maret 2004, Syafruddin diduga tidak memberikan laporan rinci mengenai misrepresentasi Sjamsul atas nilai utang petambak PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun. Dia juga diduga tidak melaporkan kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi.
"Terdakwa juga tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya mengubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi," kata Helmi.
Alhasil, KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004. Keputusan itu menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian pemegang saham dengan BPPN berupa pelepasan dan pembebasan.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam dictum pertama angka 1 Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul dengan BPPN terlebih dahulu mempertahankan hold back asset sampai dengan seluruh kewajiban pemegang saham bersangkutan telah dinyatakan selesai.
Kemudian, pada 12 April 2004, Syafruddin dan Sjamsul yang diwakili Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir No. 16. Akta tersebut menyatakan bawha Sjamsul telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
Pada 26 April 2004, Syafruddin menandatangani surat No. SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal PKPS kepada Sjamsul. Surat tersebut menyatakan Sjamsul telah menyelesaikan kewajiban PKPS sebesar Rp 28,4 triliun kepada BPPN.
"Termasuk penyelesaian seluruh kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam perjanjian PKPS," kata Helmi.