Ombudsman Ungkap Masalah Tata kelola Penyelenggaraan Umrah
Ombudsman RI mengungkapkan berbagai permasalahan yang kerap terjadi dalam tata kelola penyelenggaraan umrah di Indonesia. Komisioner Ombudsman Ahmad Suady mengatakan, masalah tata kelola ini kerap kali membuat pelayanan penyelenggaraan ibadah umrah menjadi terkendala. Bahkan, permasalahan ini juga diduga menjadi faktor penelantaraan jemaah, seperti yang dilakukan biro perjalanan umrah First Travel.
"Fenomena seperti gagalnya puluhan ribu calon jemaah First Travel dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) lainnya adalah salah satu bentuk pengabaian pelayanan dalam penyelenggaraan umrah dan merupakan maladministrasi," kata Suady di kantornya, Jakarta, Rabu (4/10).
Suady menuturkan, permasalahan pertama terjadi akibat kurangnya kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan umrah oleh Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini lantaran jemaah umrah yang sudah maupun akan berangkat Umrah tidak terdata dengan baik oleh Kemenag.
Suady mengatakan, data jemaah umrah hanya berada di Penyelenggara Perizinan Ibadah Umrah (PPIU) yang dikerjakan swasta. Sementara PPIU tidak bersedia memberikan data kepada pemerintah dan menyulitkan kontrol.
Masalah kedua karena adanya perbedaan data jumlah PPlU yang terdapat di Kementerian Agama dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta. Ombudsman menemukan, terdapat 387 unit PPIU yang berdomisili di Jakarta.
Dari jumlah tersebut hanya 83 PPIU atau sekitar 21 % yang sesuai dengan nama PPIU di PTSP DKI Jakarta (Data). Sementara, terdapat 304 PPIU yang terdaftar di Kementerian Agama namun tidak ada di DPMPTSP DKI Jakarta. "Di samping itu, terdapat 100 PPIU yang terdaftar di PTSP DKI Jakarta namun tidak ada di Kementerian Agama RI," kata Suady.
Suady menuturkan, 83 PPIU yang terdaftar di Kemenag dan di PTSP seluruh DKI Jakarta telah tercantum di data pajak. Namun dari jumlah tersebut yang berstatus wajib pajak sesuai dokumen Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) PER-43/PJ/2015 hanya terdapat 64 PPIU.
Sementara, terdapat 19 PPIU yang tidak valid karena memiliki masalah dalam data pajak, seperti nomor NPWP tidak sama dengan nama perusahaan. Adapula yang ditemukan tidak menyerahkan SPT selama 2 tahun.
"Berdasarkan penyesuaian data dari 83 PPIU yang berada di DKI Jakarta dan terdaftar di Kemenag, ditemukan 36 PPIU atau sekitar 43% yang melampirkan IMB sebagai persyaratan menjadi Biro Perjalanan Wisata dan atau PPIU. 17 atau sekitar 21 % PPIU tidak melampirkan IMB dan 30 PPIU atau sekitar 36% tidak terdaftar," kata Suady.
Ombudsman juga telah berkoordinasi dengan DPMPTSP DKI Jakarta dalam penyesuaian terhadap 83 PPIU yang terdaftar. Hasilnya, ditemukan hanya 39 PPIU atau sekitar 47% yang melampirkan NPWP sebagai persyaratan dalam pengurusan izin. "Terdapat 14 PPIU atau sekitar 17% yang tidak melampirkan NPWP dalam pengurusan izin dan 30 PPIU atau sekitar 36% yang tidak terdaftar," Suady.
Kemudian, Ombudsman menemukan pola rekrutmen jemaah umrah yang berpotensi menimbulkan permasalahan. Hal ini dikarenakan banyak jemaah direkrut oleh pemuka agama atau tokoh masyarakat yang bekerja sama dengan PPIU. Kendati dalam proses penyelenggarannya, pihak PPIU tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan Umrah. "Karena hanya memberikan fasilitas legalitas lembaga untuk memberangkatkan jemaah," kata Suady.
Menurut Suady, berbagai masalah tersebut harus segera ditangani oleh Kemenag. Pasalnya, jika tidak lekas diantisipasi kasus First Travel bisa kembali terjadi.
Karena itu, dia pun memberikan rekomendasi agar masalah itu dapat diantisipasi melalui kontrol secara langsung oleh Kemenag terhadap penyelenggaraan umrah. Suady menuturkan, hal ini dimaksudkan agar pendataan calon jemaah umrah dapat lebih jelas.
Selain itu, dia juga meminta agar perizinan PPIU diserahkan kepada PTSP. Menurut Suady, hal ini dilakukan agar pendataan PPIU tidak menjadi tumpang tindih. "Meminta PPIU dilimpahkan ke PTSP atau lembaga yang relevan. Harus bisa membedakan urusan ibadah dengan industri," kata Suady.
Menanggapi hal ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai bahwa pemberian izin tidak bisa diserahkan kepada lembaga lain seperti PTSP. Pasalnya, pihak yang berwenang memberikan izin PPIU hanyalah Kemenag. "Prinsipnya pemberian izin PPIU hanya Kemenag," kata Lukman.
Kendati demikian, dia menyatakan akan mendalami hasil temuan dari Ombudsman. Menurut Lukman, Kemenag pun sedang merancang solusi agar permasalahan seperti First Travel tidak kembali terjadi.
Revisi penyelenggaraan umrah
Lukman menyatakan pihaknya tengah melakukan kajian revisi aturan penyelenggaraan umrah. Hal ini dilakukan mengantisipasi terjadinya kembali penelantaran dan penipuan jemaah dalam kasus First Travel.
Lukman mengatakan, rencananya substansi yang akan direvisi terkait dua hal, yakni standar biaya umrah dan kepastian waktu keberangkatan. Menurut Lukman, dua hal tersebut menjadi penting dibahas sebagai penguatan pengawasan atas penyelenggaraan ibadah umrah.
"Agar intinya jangan lagi konsumen calon jemaah itu menjadi korban dari tindakan-tindakan ilegal yang bertentangan dengan hukum sehingga regulasi itu harus keluar," kata Lukman.
Lukman menuturkan, Kementerian Agama akan menerapkan standar biaya umrah sesuai referensi pelayanan yang diberikan. Nantinya, standar biaya tersebut akan ditetapkan berbeda antar wilayah di Indonesia.
Saat ini, Kemenag hanya menerapkan standar minimal pelayanan dalam penyelenggaraan umrah. Sayangnya, hal ini dinilai masih juga belum cukup mengantisipasi adanya penipuan oleh biro perjalanan umrah. "PPIU harus ada standar minimal harga yang ditetapkan," kata Lukman.
Lukman menuturkan, nantinya revisi tersebut akan diterapkan pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah. Revisi UU Nomor 13 Tahun 2008 saat ini tengah dikaji bersama DPR RI.