Istana Nilai Fatwa MUI Soal Media Sosial Cocok di Kondisi Sekarang
Pihak Istana Kepresidenan menyambut baik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal aturan main media sosial. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan keluarnya fatwa MUI ini menjadi bagian dari pengaturan bagaimana tata krama penggunaan media sosial.
Teten juga mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menyampaikan keluhan mengenai penggunaan media sosial ini di berbagai kesempatan. Apalagi menurut Presiden penggunaan media sosial sudah kebablasan. Ini juga terjadi di banyak negara, bukan hanya Indonesia.
"Saya pikir fatwa MUI komplementer dengan keadaan saat ini," kata Teten di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/6).
Meski begitu, dia membantah fatwa ini merupakan pesanan dari Presiden. Bahkan dalam mengeluarkan fatwa ini, MUI tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jokowi. Dia mengatakan fatwa ini merupakan kewenangan dari MUI sendiri. (Baca Infografik: Waspada Persekusi Melalui Media Sosial)
Menurutnya saat ini masyarakat seperti memiliki dua standar moral dalam bersosialisasi yakni di dunia nyata dan dunia maya. Di dunia maya, setiap orang bisa saling menghujat karena berbeda pendapat. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari kenyataannya tidak seperti itu.
Dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 yang dikeluarkan, MUI meminta konten media sosial yang disebar kepada khalayak harus memiliki beberapa syarat seperti kebenaran dalam isi, bermanfaat, bersifat umum, tepat secara konteks, serta tidak melanggar hak kekayaan intelektual.
Selain itu informasi yang didapat harus dapat diverifikasi terlebih dahulu dengan berbagai cara seperti menanyakan konten kepada sumber informasi serta meminta klarifikasi kepada pihak yang berkompetensi. Adapun isi konten harus memenuhi beberapa syarat di antaranya konten tidak boleh berisi fitnah atau hoax. (Baca: Gandeng Facebook dan Google, Pemerintah Ajak Masyarakat Tangkal Hoax)
Dalam fatwa tersebut, MUI mengharamkan lima hal bagi umat islam yang menggunakan media sosial. Pertama, melakukan gibah atau membicarakan keburukan/aib orang lain, fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan. Kedua, aksi bullying, ujaran kebencian serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan.
Ketiga, menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti informasi tentang kematian orang yang masih hidup. Keempat, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar'i. Kelima, menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan waktunya.