Pertamina Yakin Holding BUMN Buat Nilai Tambah Perusahaan
PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) per sektor, terutama sektor minyak dan gas bumi (migas) masih menunggu persetujuan para pemangku kepentingan. Untuk itu, Pertamina akan terus melakukan sosialisasi akan manfaat holding bagi perusahaan.
"Tentu aspek sosialisasi penting kita lakukan terus, kan misalnya banyak stakeholder yang belum paham manfaatnya (holding)," ujar Dwi saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (25/1).
Direktur Utama Pertamina Dwi Soejipto menuturkan, dalam pembentukan holding migas ini memang masih menunggu aspek formalitas, yakni terbitnya Peraturan Pemerintah (PP).
(Baca juga: Payung Hukum Terbit, Holding BUMN Migas Tunggu Restu Kemenkeu)
Dwi menjelaskan, pembentukan holding ini bukan hanya sebagai alat untuk mensinergikan BUMN yang memiliki lini bisnis yang hampir sama. Misalnya di sektor migas ada Pertamina dengan PGN.
Selain itu, Dwi juga menyatakan bahwa sinergi tersebut akan menciptakan nilai tambah yang cukup besar di antara kedua perusahaan. "Kalau mengintegrasikan perusahaan dalam bentuk holding yang akan kita dapatkan yaitu nilai tambah yang diperoleh dari sinergi. Apakah sinergi investasi, operasional, financing sehingga kalau investasi dapat cost lebih murah," ujar Dwi.
Selain itu, menurut Dwi, PGN juga akan memiliki kemampuan makin besar dengan masuknya Pertagas ke dalam tubuh perusahaan tersebut. Hal itu dipelajarinya dari pengalaman semasa di Semen Indonesia.
"Seperti waktu kita menyatukan Semen Indonesia dampaknya cukup besar. Kita bisa mendapatkan peningkatan laba 11 kali lipat dalam 7 tahun, market cap 10 kali lipat," ujar Dwi.
(Baca juga: Amankan Aset Negara, DPR Tolak Payung Hukum Holding BUMN)
Dwi menyakatan bahwa saat ini hal-hal tersebut masih harus disosialisasikan pada para pemangku kepentingan, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rapat konsultasi terakhir, Dwi mengaku, DPR masih menanyakan manfaat dan payung hukum holding ini.
Sebelumnya, Komisi BUMN (VI) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak peraturan pemerintah nomor 72 Tahun 2016 yang dijadikan pemerintah sebagai payung hukum pendirian induk usaha alias holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Alasannya, bila menggunakan payung hukum tersebut maka kewenangan DPR dalam mengawasi aksi korporasi perusahaan-perusahaan pelat merah bakal tergerus.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohamad Hekal menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan BUMN akan menjadi anak usaha dari perusahaan BUMN lainnya yang terpilih sebagai holding. Padahal, sesuai Undang-Undang BUMN, anak usaha BUMN secara definisi bukanlah BUMN.
(Baca juga: Bentuk Holding BUMN, Pemerintah Akan Konsultasi ke DPR)
Bila peraturan tersebut dijadikan payung hukum maka aksi korporasi perusahaan tersebut termasuk pelepasan aset tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR. "Secara umum teman-teman di Komisi VI keberatan dengan PP 72/2016 ini. Kami, secara sikap politik belum menyetujui adanya peraturan tersebut," ujar Hekal saat ditemui di ruang rapat Komisi VI, Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/1) lalu.